Diaz duduk bersandar di kursi santai di balkon kamarnya. Kakinya terjulur sedangkan kedua tangan dijadikan bantal. Pandangannya fokus ke arah langit malam memperhatikan bintang-bintang.
Dia tidak mengerti apa yang salah dengan dirinya. Cintanya bertepuk sebelah tangan. Sementara orang tuanya sendiri seperti tidak tahan berdekatan terlalu lama dengannya.
Diaz merasa kesepian. Dimanapun dirinya berada, dia selalu merasa asing.
Ingatannya melayang ke kejadian beberapa tahun silam. Dimana Diaz tidak sengaja mendengar gosip dari pelayan. Saat itu Diaz baru menginjak kelas dua SMP. Dia sedang menikmati libur sekolahnya dengan pulang ke kampung halaman.
Diaz berang ketika mendengar gosip itu. Papa yang begitu ia sayangi dihina. Difitnah sebagai pembunuh. Dengan murka Diaz memukul si pelayan penggosip. Tidak peduli meski pelayan itu wanita.
Namun fakta yang Diaz dengar setelahnya membuat dirinya seakan mati rasa. Sang Papa mengakui sendiri secara langsung bahwa dia memang telah membunuh orang tuanya. Atau lebih tepatnya, orang tua kandung Kak Alan yang begitu Diaz sayangi.
Diaz marah dan begitu kecewa pada sang Papa. Namun itu tidak berlangsung lama karena perasaan sayang Diaz yang begitu besar.
Papanya tidak pernah mengajarkan Diaz hal buruk. Papanya selalu memberikan nasihat-nasihat yang bijak. Karena itu Diaz merasa yakin, pasti ada alasan tertentu yang membuat Papanya nekat melakukan semua itu.
Sejak saat itu, kebencian dan takut terhadap Alan muncul di hati Diaz. Dia takut jika Alan mencoba membalas dendam dan membuat Papanya dipenjara atau terluka. Kenyataan bahwa Alan bisa melakukan hal itu—melukai dan memenjarakan Papanya—membuat perasaan benci di hatinya muncul.
Setelah pertemuannya dengan Alan di club, Diaz langsung menghubungi Papanya. Dia berharap Papanya waspada dan membuat rencana tertentu. Bahkan Diaz sempat menawarkan diri untuk membantu. Walau mungkin apa yang dilakukan Papanya bertentangan dengan hati nurani Diaz, tapi ia akan tetap membela sang Papa.
Tapi sama seperti dulu, lagi-lagi Papanya menolak bantuan Diaz. Bahkan sekarang Papanya malah menawarkan agar Diaz pindah ke luar negeri. Namun Diaz menolak dan memilih tinggal di kota ini. Kota asing dimana tidak seorang pun yang Diaz kenal.
Suara bel menyadarkan Diaz dari lamunan. Dahinya berkerut dalam. Hampir sebulan dirinya tinggal di kota ini dan belum berhasil memiliki teman. Bahkan bisnis yang awalnya ia rencanakan belum juga bisa terwujud. Kesehariannya ia lewati dengan berjalan-jalan tak tentu arah lalu pulang setelah malam menjelang.
Diaz bangkit lalu menuju pintu. Dia bersiap memasang wajah dingin dan sinis untuk menyembunyikan kerapuhan dalam dirinya.
Diaz membuka pintu apartemennya lalu berdiri memperhatikan seorang lelaki yang mengenakan mantel hitam berkancing ganda. Kerah mantelnya dibiarkan tegak menutupi leher untuk menghalau hawa dingin. Kacamata hitam yang ia kenakan menambah kesan misterius dan mengintimidasi.
Tubuh tegap lelaki itu terlihat santai dengan tangan dimasukkan ke dalam saku mantel. Namun di balik sikap santai itu Diaz bisa merasakan sepasang mata yang mengamatinya bagai mata elang.
Lebih dari satu menit berlalu, lelaki itu tak kunjung bersuara untuk menyampaikan maksudnya. Akhirnya Diaz mengalah dan memilih mengajukan pertanyaan.
"Apa Anda mencari seseorang?" tanya Diaz dengan nada dinginnya.
Sudut bibir lelaki itu melengkung menampilkan senyum sinis. Walau dirinya juga lelaki, namun Diaz tidak membantah bahwa lelaki di hadapannya berwajah tampan.
"Aku mencari dirimu." Jawab lelaki itu tenang.
"Saya yakin tidak mengenal Anda sebelumnya. Mungkin Anda salah orang." Diaz mengangguk sekilas lalu mundur hendak menutup pintu kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Guy and Little Girl (TAMAT)
Roman d'amour[CERITA MASIH LENGKAP SAMPAI END] "Apa maksudmu? Kau kira aku masih anak SD?" "Kalaupun kau sudah SMP, tetap saja belum boleh datang ke tempat seperti ini." "Dasar menyebalkan! Kau sok kenal sekali." Bentak gadis itu galak lalu berbalik berusaha men...