"Ah, sial!"
Lagi-lagi Alan mengumpat entah untuk yang keberapa kali. Hampir satu jam dan Alan belum juga menemukan pakaian yang menurutnya pas untuk acara kencan pertamanya.
Iya, pertama.
Selama ini Alan belum pernah melakukan kencan bersama orang yang benar-benar dia sukai. Kencan yang biasa dia lakukan dulu ketika masih menjadi gigolo hanya sebatas pekerjaan dan tentu saja itu melibatkan urusan ranjang.
Aku kekasihnya. Sepasang kekasih tidak harus berhubungan seks.
Alan tersenyum sendiri ketika mengingat kata-kata Rafka dulu. Rafka mengucapkan kalimat itu ketika dia baru saja menjadi kekasih Rena.
Waktu itu Alan merasa Rafka berlebihan dan Rena tidak lebih seperti sosok gadis dengan maksud tersembunyi. Tapi sekarang Alan mengerti perasaan Rafka saat itu yang terlihat begitu semangat dan bahagia.
Tok tok tok.
Alan tersadar dari lamunannya lalu menunduk menatap tumpukan pakaian di ranjang. Belum ada satupun yang berhasil dipilihnya.
"Kak, apa kau sudah selesai?"
Alan menoleh menatap pintu yang masih tertutup rapat lalu mengacak-acak rambutnya dengan frustasi. "Tunggu sebentar!" seru Alan dengan suara sedikit keras agar Destia bisa mendengar dari balik pintu.
"Apa yang sedang kau lakukan? Perlu bantuan?"
Alan menimbang-nimbang dalam hati tawaran Destia. Dia sungguh merasa gugup sekarang. Debaran jantungnya tidak bisa ditenangkan. Bahkan dirinya mulai ragu apakah pergi kencan ini merupakan keputusan yang benar?
Akhirnya Alan menyerah. Dia memilih untuk menemui Destia.
Di depan pintu, Alan hanya membuka sedikit, sekedar bisa melongokkan kepalanya sementara tubuhnya yang hanya dibalut boxer sembunyi di belakang pintu.
"Des, sebaiknya kencan hari ini kita tunda lain waktu. Aku merasa sedikit tidak enak badan sekarang." Ujar Alan pelan.
Dia merasa bersalah ketika melihat Destia sudah berpakaian rapi dan anggun dengan gaun pink pucat selutut. Padahal biasanya wanita itu hanya mengenakan T-shirt dan celana jeans.
"Apa kakak sakit?" tanya Destia sambil menempelkan punggung tangannya di kening Alan. Dia mengernyit ketika menyadari suhu tubuh Alan cukup normal.
"Ah, entahlah—hmm, maksudku perut. Eh iya, perutku yang sedikit tidak nyaman."
Astaga, ini memalukan. Alan tidak pernah segugup ini di depan siapapun. Bahkan bicaranya jadi terbata-bata.
"Kau memang terdengar tidak sehat, Kak. Tadi sarapanmu juga tidak kau habiskan. Istirahatlah kalau begitu. Aku akan membuatkanmu secangkir teh." Ujar Destia lembut lalu segera berbalik meninggalkan Alan.
Melihat Destia menjauh, buru-buru Alan menutup pintu lalu kembali ke ranjangnya. Dengan asal ia meraup seluruh pakaian yang menumpuk lalu memasukkannya dengan paksa ke lemari tanpa dilipat atau digantung.
Entah mengapa, pintu lemari pakaian itu yang semula bisa ditutup tanpa kendala, kini tidak bisa. Alan harus berjuang mendorong-dorong pintu. Butuh waktu beberapa menit hingga keringat bercucuran di wajah Alan, barulah pintu lemari bisa ditutup.
Setelahnya Alan langsung melompat ke atas ranjang. Dia hendak meraih selimut ketika menyadari selimutnya telah hilang entah kemana. Alan melongokkan kepala ke bawah ranjang dan melihat ke sekeliling ranjang namun tidak menemukan apa yang dicarinya.
Dengan nafas terengah, Alan menoleh ke arah lemari pakaiannya. Di sela pintu lemari yang tidak tertutup rapat, Alan bisa melihat ujung selimutnya terjuntai. Pantas saja pakaian yang ia masukkan tadi serasa bertambah banyak.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Guy and Little Girl (TAMAT)
Romans[CERITA MASIH LENGKAP SAMPAI END] "Apa maksudmu? Kau kira aku masih anak SD?" "Kalaupun kau sudah SMP, tetap saja belum boleh datang ke tempat seperti ini." "Dasar menyebalkan! Kau sok kenal sekali." Bentak gadis itu galak lalu berbalik berusaha men...