"Kak, kau belum tidur?" tanya Destia dari ambang pintu kamar Alan.
Setelah pulang dari rumah Rafka, Destia dan Alan kembali ke Fly Club lalu bekerja seperti biasa. Jam empat pagi mereka baru sampai di rumah. Tanpa banyak perbincangan, keduanya masuk ke kamar masing-masing dan bersiap tidur.
Sebenarnya Alan yang berusaha menghindari percakapan. Destia sendiri sudah beberapa kali mengajak Alan berbincang namun hanya dijawab singkat. Lelaki itu terlihat seperti banyak pikiran dan hal ini sudah berlangsung sejak mereka keluar dari rumah Rena.
Pasti masalahnya berhubungan dengan keluarga Alan dan urusan pekerjaan.
Destia juga tidak terlalu mengerti masalah keluarga Alan karena lelaki itu tidak bercerita secara detail. Alan hanya bilang bahwa orang tuanya sudah meninggal lalu terjadi perebutan harta warisan hingga kakak angkatnya berusaha membunuh Alan. Kemudian sepasang suami istri yang merupakan pembantu keluarganya membawa Alan pergi demi keselamatannya.
Setahun kemudian kakek dan nenek itu meninggal hingga Alan harus menjadi pengemis. Sampai akhirnya dia dibawa pemilik Fly Club lalu dilatih menjadi salah satu pekerjanya. Di situlah Alan bertemu Rafka lalu mereka bersahabat.
Masih banyak pertanyaan yang berkecamuk di benak Destia tapi dia memilih tidak terlalu mendesak. Alan pasti akan mengatakan padanya apa yang perlu Destia ketahui.
Tapi bukan berarti Destia suka diabaikan. Dia memang tidak akan ikut campur urusan Alan yang tidak seharusnya dirinya ketahui. Namun bukan berarti Alan boleh mengabaikannya seperti ini.
Destia jadi tidak bisa memejamkan mata walau tubuhnya sudah sangat lelah. Dia berbaring gelisah di atas ranjang. Selang beberapa lama dan pikirannya terus kembali kepada sosok Alan, akhirnya Destia keluar dari kamar menuju kamar Alan.
Seperti biasa, kamar itu tidak pernah terkunci. Tanpa permisi Destia membuka pintu lalu melongokkan kepalanya sambil mengajukan pertanyaan.
Alan sendiri juga terlihat belum tidur. Lelaki itu terlihat melamun dengan bahu bersandar di kusen jendela yang dibiarkan terbuka.
Karena tidak ada jawaban, perlahan Destia masuk lalu menutup pintu di belakangnya. Dia menghampiri Alan lalu menyandarkan bahunya di sisi jendela yang lain. Dari cara Alan yang menoleh secara tiba-tiba, jelas sekali lelaki itu tidak menyadari kedatangan Destia.
"Kau belum tidur?"
Destia menyeringai lebar menunjukkan gigi-giginya yang terawat. "Akhirnya kau memulai percakapan setelah berabad-abad lamanya."
"Maksudnya?"
Destia mengibaskan tangan sebagai tanda tidak mau melanjutkan pembahasan itu. "Kukira kau memang tidak mau menjawab pertanyaanku. Ternyata kau tidak mendengarku ketika aku bertanya di ambang pintu tadi."
"Aku bahkan tidak mendengar ketika kau masuk." Alan kembali memandang halaman samping yang gelap dan sedikit tertutup kerimbunan pohon mangga.
"Tentu saja tidak. Jiwamu tadi sedang melayang entah kemana." Sahut Destia. "Pasti enak kalau mangganya sudah berbuah. Kau bisa langsung memetiknya dari sini." Mendadak Destia mengganti topik pembicaraan.
"Tidak ada yang boleh memetik mangga di bagian." Jelas Alan sambil menunjuk bagian pohon yang gampang dijangkau dari jendela.
"Kenapa?" tanya Destia penasaran.
"Bagian ini sudah di klaim milik Juan. Bocah itu akan menangis histeris kalau melihat pohon ini sudah banyak buahnya namun dia tidak bisa memetiknya sendiri langsung dengan kedua tangannya."
"Kalau buah yang cukup dekat sudah habis di petik, bagaimana?"
"Asalkan bocah itu sempat memetik, dia tidak akan menangis lagi." Alan menggelengkan kepala mengingat tingkah menggemaskan Juan. "Dan sekarang ada dua pangeran kecil lagi. Aku hanya berharap tidak ada yang memiliki sifat jahil parah seperti Freddy."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Guy and Little Girl (TAMAT)
Romance[CERITA MASIH LENGKAP SAMPAI END] "Apa maksudmu? Kau kira aku masih anak SD?" "Kalaupun kau sudah SMP, tetap saja belum boleh datang ke tempat seperti ini." "Dasar menyebalkan! Kau sok kenal sekali." Bentak gadis itu galak lalu berbalik berusaha men...