Destia berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Sesekali dia menggigit buku jari telunjuknya dengan harapan rasa sakit dihatinya bisa berkurang digantikan rasa sakit di tubuhnya.
Sudah satu hari berlalu sejak perjodohan menggelikan itu. Dan sejak saat itu, yang dilakukan Destia hanya mengurung diri di kamar.
Dia butuh berpikir jernih sekarang. Sakit di hatinya hanya mengganggu konsentrasi. Destia harus menemukan cara untuk melarikan diri lagi. Dia tidak mau hanya diam menunggu keputusan sang Papa akan masa depannya. Terutama di saat hatinya sudah terpaut pada Alan.
Destia memang sudah berani mengakuinya sekarang. Dia menyukai Alan. Dan dirinya akan berusaha mencari tahu apakah Alan juga menyukainya atau tidak. Karena itu, Destia harus bisa kembali ke rumah Alan.
Mengingat Alan dan rumah itu membuat Destia teringat Papanya yang menjemput paksa dirinya. Dia tidak sempat membawa satu barang pun karena Papanya tidak mau menunggu. Bahkan nyaris saja lelaki tua itu menyeret dirinya ke mobil. Untung Destia berhasil bernegosiasi hingga memiliki waktu lima menit untuk membuat catatan kecil untuk Alan.
Sekarang Destia bertanya-tanya, bagaimana perasaan Alan ketika pulang lalu menemukan Destia tidak berada di rumahnya? Apa Alan berhasil menemukan kertas berisi pesan darinya itu? Lalu setelah mengetahui bahwa Destia dibawa pulang, bagaimana perasaan Alan?
Destia amat penasaran sekaligus takut untuk mengetahui jawabannya. Bisa saja jawabannya tidak sesuai dengan harapan Destia. Mungkin Alan merasa biasa saja dengan perginya Destia. Atau malah senang karena wanita yang selama beberapa minggu telah menyusahkan dirinya, akhirnya pergi.
Destia mengacak-acak rambutnya lalu menghempaskan diri di ranjang dengan posisi telungkup. Menduga-duga perasaan seseorang ternyata sangat menyebalkan.
Lalu tanpa diminta, sosok Diaz muncul begitu saja. Kenangan akan kebersamaan mereka selama bertahun-tahun. Ketika dirinya menangis, Diaz yang menghapus air matanya. Ketika Diaz—yang hidup seorang diri di kota itu sejak SMP—sakit, Destia yang paling khawatir dan dengan sabar menemani Diaz di apartemennya.
Kadang Destia berpikir apa orang tua Diaz tidak khawatir dengan keadaan Diaz yang jauh dari rumah. Terutama setelah mengetahui bahwa kepergian Diaz dari kota kelahirannya atas permintaan Papanya. Namun rupanya Diaz tidak pernah berpikir demikian. Menurutnya seorang anak lelaki memang harus belajar hidup mandiri.
Destia tersenyum. Kalau sudah bersilang pendapat seperti itu, yang biasa mereka lakukan adalah berkelahi dengan kemampuan bela diri yang sama-sama mereka pelajari sejak SMP. Setelahnya, mereka akan menertawakan kekonyolan masing-masing.
Mereka sudah menghabiskan banyak waktu bersama. Saling berbagi cerita dan rahasia. Berbagi suka dan duka. Seandainya kisah mereka ditulis, pasti akan jauh lebih banyak dari buku pelajaran yang disimpan Destia sejak SD.
Tapi ternyata sampai di sini akhirnya. Walaupun mereka masih bisa berteman, pasti akan timbul perasaan tidak nyaman lagi di hati masing-masing sehingga hubungan mereka tidak akan seakrab dulu.
Dengan kesal, Destia menggelengkan kepala kuat-kuat untuk menyingkirkan sosok Diaz dari benaknya. Dia harus melupakan kejadian menyedihkan tadi dan fokus untuk menemukan cara melarikan diri.
Di saat beberapa rencana melarikan diri sudah terbentuk di kepala Destia dengan rapi, mendadak dirinya merasa takut Alan kecewa karena wanita merepotkan yang tingkahnya seperti anak kecil semacam dirinya kembali mengusik hidup Alan.
Suara handle pintu yang ditekan lalu diikuti dengan terbukanya pintu, membuat Destia segera memejamkan mata berpura-pura tidur dengan harapan orang yang sekarang masuk ke kamarnya segera pergi. Namun harapannya kandas saat mendengar sesuatu diletakkan di meja nakas lalu disusul suara lembut Mamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Guy and Little Girl (TAMAT)
Romance[CERITA MASIH LENGKAP SAMPAI END] "Apa maksudmu? Kau kira aku masih anak SD?" "Kalaupun kau sudah SMP, tetap saja belum boleh datang ke tempat seperti ini." "Dasar menyebalkan! Kau sok kenal sekali." Bentak gadis itu galak lalu berbalik berusaha men...