"Bukan Viktor pelakunya."
Suasana menjadi hening setelah Freddy mengucapkan kalimat itu. Mata Rafka membelalak kaget sedangkan wajah Alan mendadak pucat pasi. Lidah keduanya kelu hingga tidak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun.
Freddy sendiri memilih diam. Dia tahu informasi ini pasti sangat mengejutkan dan pastinya mengguncang hati Alan. Jadi dirinya menunggu sampai ada yang bertanya, barulah ia akan memberikan jawaban.
"Tidak." mendadak Alan berkata, memecah keheningan. "Tidak! Pasti ada kesalahan!" seru Alan dengan nada tidak percaya. "Aku melihat sendiri Viktor yang memegang pisau itu. Aku melihat sendiri Papa dan Mamaku meregang nyawa didekatnya. Bagaimana mungkin dengan gampangnya sekarang kau bilang bahwa bukan Viktor pelakunya?"
"Alan, tenanglah!" Rafka mendekat lalu meremas bahu Alan untuk menenangkan.
"Kalian tidak tahu yang kurasakan. Aku hidup dengan kenyataan itu dari hari ke hari. Bermimpi tentang kejadian itu tiap malamnya. Mana mungkin tiba-tiba semua itu salah?" nafas Alan memburu seperti dia baru saja lari marathon. Matanya berkilat tajam antara kepedihan dan kemarahan.
Freddy yang mengerti emosi Alan sedang tidak stabil karena informasi mengejutkan itu, menoleh pada Rafka meminta pendapat. Rafka hanya memberi isyarat dengan kepalanya agar Freddy keluar sejenak. Freddy mengangguk paham lalu segera bangkit meninggalkan Rafka dan Alan.
"Mana mungkin bukan Viktor pelakunya?" Alan kembali mengulang pertanyaan. "Beri aku satu saja alasan mengapa bukan dia!"
Rafka tidak menjawab. Tidak ada gunanya berbicara pada Alan sekarang ketika sahabatnya itu sedang bergulat dengan emosinya.
Bertahun-tahun Alan memupuk kepercayaan bahwa Viktor yang harus disalahkan atas kematian orang tuanya. Bertahun-tahun Alan menimbun dendam terhadap Viktor. Melihat sosok yang amat dicintainya tewas mengenaskan telah menimbulkan luka menganga yang sangat dalam di hati Alan. Tentunya tidak ada yang bisa Alan pikirkan selain menyalahkan orang yang tampak jelas sebagai pelaku.
Lalu mendadak, sekarang seorang polisi yang Alan percaya sangat cerdas dan ahli dalam bidangnya, mengatakan dengan tegas bahwa bukan Viktor pelakunya?
"Mengubah apa yang kau percayai nyaris seumur hidup, jelas bukan sesuatu yang mudah."
"Kenapa aku harus percaya pada Freddy yang bahkan belum pernah menginjakkan kaki di kota kelahiranku daripada mempercayai apa yang kulihat?"
"Apa kau melihat Viktor yang menikamkan pisau itu di tubuh orang tuamu?" tanya Rafka hati-hati.
Alan tidak menjawab. Dia seperti berusaha mencari penyangkalan. "Aku memang tidak melihatnya, tapi—" Alan tampak kebingungan. "Baiklah, anggap saja bukan Viktor pelakunya. Lalu kenapa dia tidak berusaha membela diri?"
"Kau juga tidak tahu apa Viktor membela diri atau tidak karena malam itu kau dibawa pergi, kan?"
"Kalau bukan Viktor pelakunya, lalu semua itu? Kutukan? Rumor?" Alan seperti kehilangan pegangan karena mendadak apa yang dipercayainya selama ini runtuh secara perlahan. "Semua yang diceritakan kakek dan nenek, semua yang dipercayai masyarakat di kota itu, apa semua itu juga kesalahan? Atau sebenarnya hanya aku satu-satunya orang bodoh yang mempercayai semua itu sementara orang lain sedang tertawa karena berhasil menjejali kenyataan yang salah padaku selama bertahun-tahun? Dan dengan kata lain, nenek dan kakekku juga terlibat dalam semua kebohongan itu?"
Sekali lagi Rafka hanya menjadi pendengar. Dia menepuk-nepuk punggung Alan pelan, berharap hal itu bisa menyadarkan Alan bahwa lelaki itu tidak sendiri.
Alan meremas rambutnya dengan frustasi. Dadanya sungguh sesak. "Coba jelaskan padaku—" Alan terdiam ketika matanya beradu dengan mata hitam Rafka.
"Aku juga tidak mengerti, Alan. Hanya Freddy yang paham karena dia seorang polisi. Dia sudah terbiasa menghadapi penjahat hingga dengan mudah bisa menebak cara kerjanya." Rafka meringis. "Bayangkan saja, aku yang terjebak bersama Maya selama bertahun-tahun dan berpikir tidak akan pernah bisa bebas, nyatanya Freddy bisa menyelamatkanku hanya dalam waktu dua tahun."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Guy and Little Girl (TAMAT)
Romance[CERITA MASIH LENGKAP SAMPAI END] "Apa maksudmu? Kau kira aku masih anak SD?" "Kalaupun kau sudah SMP, tetap saja belum boleh datang ke tempat seperti ini." "Dasar menyebalkan! Kau sok kenal sekali." Bentak gadis itu galak lalu berbalik berusaha men...