Part 3 -- Dilemma

39.3K 3.3K 121
                                    

Both of our hearts believe
All of these stars will guide us home  

(Ed Sheeran - All of the Stars)

*****

SKYLIN

Tanganku gemetar meraih surat yang Pak James sodorkan padaku. Rasanya ini begitu aneh, setelah sekian tahun lamanya aku dan Oma berinteraksi secara langsung, namun sekarang aku hanya bisa mendapatkan surat ini sebagai bentuk komunikasi terakhinya padaku.

"Pak, saya tidak mau menikah," bisikku lirih, sama sekali tidak ingin melihat wajahnya.

Begitu banyak gejolak yang berkecamuk di hatiku. Hingga tanpa sadar aku hampir meremas pelan surat pemberian Oma. Kenapa Oma melakukan ini? Seharusnya Oma paham pernikahan itu bukan main-main seperti ini.

"Masalah itu tolong pikirkan baik-baik. Karena setelah tiga bulan yang Ibu Ratih berikan dan belum terjadi apapun dihubungan kalian, otomatis saya selaku pengacara Ibu Ratih akan langsung mempublish surat kuasa yang ibu Ratih percayakan pada saya."

Perasaanku semakin kacau mendengar keputusan Pak James. Aku terdiam sesaat. Bahkan, tak ada seorang pun yang mengeluarkan komentarnya mengenai wasiat yang Oma berikan. Refleks aku beranjak dari kursiku. "Maaf, saya ... saya kembali ke rumah lebih dulu."

Tanpa menunggu persetujuan mereka, aku berjalan cepat meninggalkan rumah Oma. Rumah keluargaku berada tepat di samping rumah Oma. Saking dekatnya aku dengan Oma, Papa sampai membuatkan sebuah pintu penghubung khusus di antara rumah kami agar saat aku ke rumah Oma, aku tidak perlu lagi keluar sampai jalan raya.

Sayangnya, kesedihan membuatku memilih untuk berjalan memutar melewati jalan raya. Selama perjalanan, air mataku tidak berhentinya menetes. Aku sedih Oma meninggal, tapi aku lebih sedih lagi kalau aku tidak bisa mengabulkan permintaan Oma yang terakhir. Bukan karena aku tak bisa, tapi ... aku tak ingin.

Tanpa kusadari, aku sudah berada di dalam kamarku. Tubuhku langsung merosot di tepi ranjang. Sementara air mataku tak henti-hentinya mengalir deras. Tak beberapa lama, terdengar suara derap langkah kaki mendekat. Aroma parfum yang menyeruak di indraku begitu ku kenal. Ditambah lagi merasakan sebuah pelukan hangatnya pada tubuhku.

Mama.

"Ky nggak mau nikah, Ma," bisikku lirih diselingi isakan yang lolos.

Mama mengusap pelan bahuku dan mengetatkan pelukannya. "Mama nggak maksa Ky. Tapi Mama berharap Ky pikirkan matang-matang keputusan Ky."

"Ma ... Kenapa Oma suruh Ky nikah? Ky belum dua-puluh," teriakku tanpa sadar.

"Ky, sejak kamu dalam kandungan Mama, Oma itu sayang banget sama Ky. Bahkan, Ky lebih dekat sama Oma daripada Mama. Makanya Mama minta kamu pikirkan dulu matang-matang karena Mama percaya Oma."

Aku mendongak dan menatap Mama. Wanita yang melahirkanku itu menatapku sendu dengan senyum tipis yang tercetak di wajahnya. Tangannya masih terus mengusap pelan bahuku. "Mama setuju ... Ky nikah muda?"

Beliau menghela nafas pelan seraya beralih mengusap pelan puncak kepalaku. "Mama percaya sama Oma. Terkadang orangtua memintamu melakukan sesuatu karena menurut mereka itu adalah hal yang baik. Tak ada orang tua yang mengingkan hal buruk untuk anaknya, bukan? Tapi Ky, mama sama tidak akan memaksa kamu. Pernikahan itu sepenuhnya milikmu, jadi kamu yang berhak menentukan dengan siapa kamu menikah."

Mulutku keluh. Aku terlalu bingung harus membalas apa ucapan Mama. Tiba-tiba aku teringat ancaman Oma Ratih yang mengikut sertakan Om Attar di dalamnya. Bukankah aku kejam kalau menolaknya? Seperti memang aku dipaksa untuk mengiyakannya. "Tapi, Om Attar ...."

Call You HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang