EPILOG

45.1K 2.4K 52
                                    

Every night is lonesome and is longer than before
Nothing really matters anymore
It's so hard to be without you

(Ryan Adams - To Be Without You)

*****


SKYLIN

Lantunan ayat suci terus berkumandang dengan suasana duka yang begitu kental menyelimuti rumah ini. Mama dengan pasminanya memilih untuk duduk bergabung bersama para tamu serta ibu pengajian. Isakan beberapa kali lolos dari mulutnya.

Aku menghela nafas dalam. Meskipun kami tidak terlalu dekat, tapi aku tetap merasa kehilangan adik iparku itu. Apalagi Mama yang dulu sering menghabiskan waktu bersama Adelide, bahkan sebelum Mars setuju dengan perjodohannya dengan Adelide. Bukan hanya itu saja, kecelakaan yang terjadi juga turut merenggut kedua orangtua Adelide yang notabennya adalah sahabat Mama.

Merasakan ada yang janggal, kepalaku mulai celingukan mencari sosok Mars. Adikku itu sama sekali tidak terlihat di sini, padahal tadi aku sempat melihatnya datang selepas menjenguk putrinya yang masih berada di rumah sakit. Tidak sampai satu jam setelah Adelide berhasil melahirkan bayinya, dia segera menyusul kedua orangtuanya pergi dari dunia. Mas Akhtar yang mengetahui betapa hancurnya Mars, tanpa pikir panjang langsung menggantikan posisi Mars untuk mengurus semua kebutuhan pemakaman untuk Adelide berikut juga kedua orangtuanya.

Kakiku berjalan pelan menaiki tangga. Aku berbelok menuju kamar utama dan menemukan pintunya sedikit terbuka. Perlahan aku mendekat, mencoba mengintip. Seketika aku kembali bersedih menemukan Mars menyendiri di sana. Dia duduk di sisi tempat tidur. Tangannya menggenggam erat bingkai foto. Dari sorot mata yang dia tunjukkan, aku tahu dia sangat kehilangan.

"Mars," panggilku pelan sembari menyentuh bahunya.

Dia tersentak, kemudian refleks menoleh. Senyum tipisku tersungging di wajah, bermaksud menularkan sedikit bahagia untuknya. Sayangnya Mars sama sekali tidak tersenyum. Sisa air mata dan juga lingkaran hitam terlihat jelas di bawah matanya.

Tanpa menunggu persetujuannya, aku langsung duduk di sampingnya. Aku berbisik pelan. "Gue yakin lo bisa melewati semua ini, Mars."

Dia tidak menjawab. Tapi tatapannya tak pernah lepas dariku. Belum sempat aku kembali berbicara, tiba-tiba saja air mata Mars kembali meleleh. Aku terkejut. Ternyata sekuat apapun seorang pria, tetap saja akan menangis jika wanita yang dicintainya pergi untuk selama-lamanya.

Kedua matanya mengerjab, berusaha untuk tidak menangis. Sayangnya usahanya gagal, bahkan kini mulai terdengar isakan dari mulutnya. Refleks aku segera melingkarkan kedua tanganku pada Mars, menariknya ke dalam dekapanku. Sebesar apapun dia, bagiku dia tetaplah adik kecilku. Kini dia sama sekali tidak berusaha menutupi isakan dan tangisnya, malah suara isakannya semakin keras.

"Kak ...," teriaknya sembari memanggil namaku. Suaranya terdengar menyedihkan. "Harusnya gue maksa ikut mereka pergi ... Harusnya gue tidak meninggalkan Papa mertua gue nyetir sendiri ... Ini semua salah gue."

Kepalaku menggeleng kuat mendengarnya kembali menyalahkan diri sendiri. Tanganku mengusap punggungnya. "Kepergian mereka bukan salah lo, Mars. Kematian itu rahasia Tuhan, dan itu jelas bukan salah siapa-siapa."

Masih dengan isakannya, dia kembali berteriak. "Gue harus gimana sekarang kak? Kaylila kehilangan ibunya. Gue ... kehilangan orang yang gue cintai."

Hatiku semakin teriris mendengarnya. Apalagi aku sama sekali tidak bisa memberi solusi seperti biasanya. Aku belum pernah berada di posisi Mars, tapi aku paham kehilangan orang yang dicintai selama-lamanya itu begitu menyakitkan. Apalagi ketika rindu, hanya kenangan yang tersisa untuk mengobatinya.

Bukan hanya itu saja, keberadaan Kaylila, anak mereka yang baru lahir jelas menyita pikirannya. Sedih rasanya tidak pernah mengenal sosok ibu, bahkan sejak lahir. Sedikit banyak Mars juga memikirkan bagaimana kedepannya. Bagaimana dia mengurus Kaylila, disaat yang bersamaan dia juga patah hati karena kehilangan.

"Gue harus gimana kak?" Mars terus meneriakan pertanyaan yang sama berulang kali.

"Lo harus kuat, Mars. Lo harus kuat demi Lila, anak lo." Dan hanya itu jawaban yang berulang kali aku berikan.

Setelahnya aku membiarkan Mars terus terisak di dalam pelukanku. Sampai akhirnya aku mendengar suara langkah kaki mendekati kami. Kepalaku menoleh, mendapati mas Akhtar sudah berdiri di sampingku. Wajahnya terlihat lelah.

"Mars, sudah waktunya untuk dishalati."

Mars segera melepaskan pelukanku. Dihapusnya air matanya. Dia menghela nafas dalam sebelum akhirnya beranjak. Sejenak dia menoleh padaku. Kini dia berusaha untuk menyunggingkan sedikit senyuman padaku.

"Sepertinya ini sudah saatnya gue harus melepaskan Adelide, Kak Ky."

******

Surabaya, 14 Juli 2018.

Well, ini adalah ending Call You Home. Kalau kalian kangen, kali aja Akhtar-Skylin masih muncul di kisah baru Mars yang judulnya Val(l) For Mars. Kalau pada nebak kok nggak 'Fall For Mars', iya itu plesetan dari nama tokoh wkwk.

Yang mau baca, nanti linknya aku share di komen ya atau bisa cek langsung di akun saya. Happy reading.

love,

Desy Miladiana.

Call You HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang