BAB 8 -- First Kiss

44.9K 3.4K 138
                                    

There's no need to hide that feeling we get
Whenever we touch we can't resist
We go back to our first day
Our first kiss

(A Rocket To The Moon - First Kiss)

*****

AKHTAR

Kepalaku tanpa sadar mengikuti arah pandang Sky ketika gadis itu memanggil nama seseorang yang tak asing dari ingatakanku. Tak jauh dari meja kami, berdirilah seorang pria dengan kemeja navy bergaris vertikal. Bagian lengannya digulung hingga siku dan pria itu jelas sedang tersenyum lebar pada istriku.

Alisku terangkat saat menemukan penampkan pria yang disukai maaf maksudku digilai oleh Sky. Aku jadi ingin tertawa keras-keras dan mengatai tipe Sky ini. Dilihat sekilas saja, aku jelas-jelas terlihat lebih keren daripada pria bernama Bara ini. Wajah pria ini saja tidak terawat, membiarkan jambangnya tumbuh seenaknya di sekitar rahangnya. Rambut cepak rapi, tidak keren. Bahkan kurasa pria ini tak setinggi diriku yang memiliki tinggi kira-kira 185cm.

Kepalaku kembali fokus pada Sky yang masih menatap penuh kagum pada pria itu. Sekarang aku baru memahami definisi sebenarnya dari cinta itu buta. Sky jelas benar-benar menyukai pria ini, tapi kurasa bukan dari fisik lah dia jatuh cinta, lalu alasan apa yang membuat mata gadis itu berbinar indah?

"Hi, sudah dua tahun ya." Kini suara pria itu terdengar begitu dekat.

"Eh ... iya, Bang." Suara Sky terdengar gugup. Kurasa gadis itu benar-benar payah dalam menghadapi pria terutama pria yang dia sukai. Aku masih ingat jelas bagaimana awal-awal kami bertemu, dia bersikap tak peduli dan kemudian berusaha berbicara lambat dan juga pelan. Tapi, sama sekali tak ada nada gugup seperti ini.

Bara, nama pria itu segera menarik sebuah kursi di dekatnya dan diletakkan tepat di samping meja kami. "Bagaimana kabar lo?" tanyanya seraya mengulurkan tangan pada Sky.

Sky terlihat ragu menerima uluran tangan Bara, tapi pada akhirnya dia pun menerima uluran tangan Bara. "Baik, bang. Abang ... sendiri?"

Pria itu terkekeh. Wajahnya tersenyum lebar. Kurasa kalau Sky sedang mencoba move on sekarang, pasti dia gagal total. "Cukup baik, tapi masih sedikit jetlag. Gue baru aja mendarat di soeta pagi tadi. Lalu saking rindu dengan Chocoffee, gue lebih milih ke sini dulu daripada pulang ke rumah. Awalnya gue pikir dua tahu nggak ke sini lagi, gue bakal kehilangan suasana Chocoffee, tapi gue salah. Suasana di sini semakin gue suka, apalagi gue ketemu lo."

Kepala Sky menggeleng pelan dan senyum malu-malu dengan ronanya itu muncul. Kenapa aku jadi kesal ya? Dia terlalu menggemaskan dengan rona itu, tapi aku terlalu bermoral mencubit pipinya di depan pria bernama Bara ini. "Kurasa semua masih setia menunggu lo di sini, Bang."

Dan entah mengapa jawaban Sky pada Bara berhasil menambah kekesalanku. Mungkin seperti insting seorang pejantan yang meneriakan tanda bahaya, bahwa saat ini betinaku sedang diincar pejantan lain. Kenapa aku jadi melantur dan malah menyamakan diriku sebagai binatang?

Refleks aku berdeham pelan dan hal itu membuat kedua orang itu menoleh padaku.

"Kamu nggak mau kenalin aku ke teman kamu, sayang?" tanyaku begitu saja.

Wajah Sky terlihat semakin merona dan itu benar-benar cobaan berat untukku. Menggemaskan sekali dan aku benar-benar tergelitik untuk mencubit pipi chubbynya dan memainkannya hingga membuat gadis itu kesal. Hanya saja pengganggu ini menahanku, ditambah jarak duduk Bara yang terlalu condong kepada Sky, mencurigakan.

Sky menatap ragu padaku, sementara tatapanku langsung beralih pada Bara. Pria itu akhirnya menyadari kehadiranku dan dia jelas tidak mengerti. Kami bertatapan saling menilai dan kurasa pria itu cepat menyadari kecanggungan yang terjadi.

Call You HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang