BAB 13 -- Complicated

35.4K 3K 21
                                    

And if I had a pair of wings
I'd pick you up and fly you far away from here
And we'd fly so high up in the sky
Where the stars are so clear
And then I could save you
From the troubles of the world
And all you'd have to pack is your heart to bring
And there we are, you and me
Flying on a big old pair of wings

(Justin Timberlake - Pair of Wings)

*****

SKYLIN

Tanganku mulai meraba sisi ranjang sebelah untuk mencari kehangatan tubuh suamiku yang biasanya kulakukan setiap lama. Tapi saat tangan ini tak menemukan tubuh besarnya, seketika mataku terbuka lebar. Beberapa kali aku mengerjab pelan dan menyadari bahwa kamar masih gelap gulita. Kepalaku refleks menoleh mencari keberadaan jam meja di atas nakas dan ternyata masih menunjukkan pukul sebelas malam.

Di mana mas Akhtar?

Perlahan aku menyibak selimut dan beranjak dari kasur. Tanganku dengan cepat meraih kuncir rambut. Sembari mengikat asal-asalan rambutku, aku bergegas menuju ke ruang tamu. Tidak biasanya mas Akhtar masih terjaga di saat seperti ini. Yang kukenal dari mas Akhtar adalah, dia jarang begadang, kecuali ada acara khusus yang mengharuskannya untuk melakukan itu.

Ketika membuka pintu kamar yang langsung menghadap ke arah ruang tamu, di sanalah aku menemukan mas Akhtar tengah duduk sendirian. Tubuhnya bersandar pada sofa, sementara kakinya terjulur ke atas meja kopi di depan. Wajahnya menunduk menekuni laptopnya sementara tangannya yang bebas menggenggam erat tumpukan kertas.

"Mas," panggilku pelan tepat saat aku sudah berada di samping sofa.

Kepalanya langsung menengadah. Padangan kami bertemu beberapa saat, sebelum akhirnya dia tersenyum lebar dan pipiku yang selalu memanas hanya karena senyum sederhana darinya.

"Belum tidur?" tanyanya.

Aku menggeleng. "Kebangun. Nggak bisa tidur lagi. Mas, lagi apa?"

"Duduklah."

Tanpa banyak bicara, aku langsung menuruti permintaannya untuk mengambil duduk tepat di sampingnya. Tangan mas Akhtar dengan cepat merengkuh tubuhku untuk merapatkanku pada tubuhnya. Sementara bibirnya dengan cepat memberiku sebuah kecupan pada pipi. "Dosen selalu punya tanggungan untuk input nilai, sayang," bisiknya tepat di telingaku dan hal itu selalu berhasil membangunkan kupu-kupu di dalam perutku.

Wajahku juga terasa mulai memanas jika dia sudah berbuat semanis ini. Begitu dekat, begitu intim dan terasa begitu dicintai. Saking gugupnya, tanpa sadar tubuhku beranjak dari sofa dan melepaskan rengkuhan mas Akhtar begitu saja. "Mau aku buatkan kopi?" tawarku yang langsung dibalas dengan gelengan serta ekspresi kebingungan darinya.

"Air mineral saja jika kamu tidak keberatan."

Aku mengangguk singkat dan segera menuju dapur untuk mengambilkannya segelas air mineral. Tak sampai lima menit kemudian, aku sudah kembali bersamanya dengan dua buah cangkir di tangan.

"Makasih ya," ucapnya sambil menerima sodoran cangkir di tanganku.

Tanpa membalas ucapannya, aku memilih untuk duduk kembali di sampingnya. Tak terlalu dekat seperti tadi, hampir di pinggiran sofa. Aku terlalu gugup, hingga aku dapat merasakan debaran jantungku yang begitu heboh. Bagaimana jika mas Akhtar dapat mendengar parade jantungku ini? Apa kira-kira yang akan dia pikirkan?

"Jangan minum kopi sering-sering," tiba-tiba mas Akhar bersuara memecahkan keheningan yang kami buat.

Kepalaku sontak menoleh kepadanya. Priaku itu masih tetap setia menekuni laptopnya seperti yang kutemukan tadi.

Call You HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang