BAB 21 -- Jealous

30.9K 2.5K 40
                                    

I'm getting ready to face you
Can call me obsessed
It's not your fault that they hover
I mean no disrespect
It's my right to be hellish
I still get jealous

(Nick Jonas - Jealous)

*****

SKYLIN

Tubuh Pak Rian seketika lunglai. Untungnya, di sana ada mas Akhtar yang dengan sigap meraih tubuh Pak Rian untuk dipapahnya menuju sofa ruang tamu. "Sky, tolong bawakan miunuman."

Aku mengangguk patuh tanpa melawan. Bergegas aku berjalan cepat menuju dapur, sepertinya secangkir teh hangat untuk Pak Rian dapat membuat dia merasa lebih baik. Sementara aku membuatkan minuman di dapur, samar-samar aku mendengar Mas Akhtar kembali berbicara. Tentu saja pembicaraan Mas Akhtar tidak jauh-jauh dari masalah yang sedang kami hadapi. Dia menceritakan kisah kami dengan runtut, mulai dari bagaimana kami bisa berhubungan dan berakhir dengan segala ulah Patricia yang berujung pada fitnah kejam gadis itu.

Tanpa sadar aku menghela nafas berulang kali. Rasanya cukup menyedihkan melihat perubahan besar Patricia. Mengenal gadis itu selama beberapa semester, aku mengetahui dia seorang yang memiliki attitude baik, apalagi bekerja menjadi seorang serta anak pemilik kampus. Sayangnya, orang yang sedang putus asa terkadang bisa bertingkah melewati batas akal sehatnya. Aku jadi khawatir padanya, bagaimana jika Patricia tidak berhasil melewati masa terendah dia sekarang, akankah dia berakhir melakukan hal bodoh seperti bunuh diri misalnya? Bagaimanapun, Patricia pernah baik kepadaku dulu.

Sepuluh menit kemudian, aku kembali bergabung bersama keduanya di ruang tamu. Mas Akhtar sudah menyelesaikan ceritanya, bahkan Pak Rian sudah turut mengobrol. Dia terlihat serius, tapi senyum yang terukir di wajah Pak Rian sudah menunjukkan bahwa dia sudah tidak terlalu terkejut dengan fakta kami.

"Silahkan minumnya, Pak." Perlahan aku meletakkan secangkir teh hangat di hadapan Pak Rian.

Kepala Pak Rian mengangguk pelan, membuatku turut tersenyum sopan padanya. "Terima kasih, Skylin."

"Jadi, Pak Rian akan membantu kami kan?" Pertanyaan Mas Akhtar meluncur, tepat saat aku mendudukan diriku di sofa, bersisian dengannya.

"Pak Akhtar," kemudian ada jeda beberapa saat, barulah Pak Rian kembali bersuara. "Jujur, saya menyukai bapak sebagai partner kerja saya. Itulah mengapa saya memaksa Bapak untuk menjadi pembimbing, padahal seharusnya belum saatnya. Alasan saya juga memilih Skylin pun jelas, karena dia cerdas serta mudah memahami materi dengan cepat. Saya percaya kalian bisa saling membantu satu sama lain untuk mencapai tujuan kalian. Tapi ... saya tidak menduga bahwa yang terjadi malah seperti ini."

Aku hanya bisa tersipu mendengar pujian Pak Rian. Untuk pertama kalinya aku mendengar seorang Pak Rian memuji mahasiswanya. Tiba-tiba aku merasakan gerakan pelan di sampingku, disusul dengan sesuatu yang hangat menyelimuti punggung tanganku. Kepalaku merunduk cepat, mendapati tangan mas Akhtarlah yang melakukannya. Tanpa sadar aku kembali menengadah. Jantungku berdebar kencang dan fokusku terpusat wajah mas Akhtar.

"Saya tersanjung dengan pujian Pak Rian. Berarti bapak bersedia kan membantu kami?"

Pak Rian tidak langsung menjawab, membuat fokusku turut kembali kepada Pak Rian. Dia dengan santainya bergantian mengamati kami dengan seksama. Hingga ketika Pak Rian mengangguk pelan, aku sama sekali tidak bisa menutupi cengiran bodoh yang tersungging di wajahku.

"Tentu saja. Saya senang bisa membantu dua orang favorit saya."

"Makasih, Pak Rian," suaraku yang meluncur begitu saja dari bibirku terdengar begitu ceria. Aku bahkan sudah tidak peduli lagi dengan rasa segan yang sempat hadir.

Call You HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang