BAB 28 -- White Lies?

25.9K 2.4K 80
                                    

I was the man who never lied
I never lied until today
But I just couldn't break your heart
Like you did mine yesterday

(Maroon 5 - The Man Who Never Lied)

*****

                 

AKHTAR

Bu Aya berbasa-basi sejenak sebelum akhirnya keluar dari ruangan. Aku mencoba kembali fokus pada layar komputer di hadapanku. Sebuah email baru dari Sky dengan subjek Undangan Pernikahan menarik perhatianku. Baru saja aku ingin membuka email tersebut, sebuah ketukan di pintu sejenak menghentikanku.

"Masuk!" teriakku. Mataku masih fokus pada layar komputer yang kali ini sudah menampilkan isi email Sky. Beberapa contoh undangan dengan berbagai model serta warna memenuhi hampir seluruh layar.

"Pak Akhtar." Suara berat berhasil mengalihkanku.

Refleks kepalaku mendongak. Pak Ahmad tiba-tiba saja sudah berdiri tepat di sebrang meja. Tanganku secara otomatis menutup browser yang kubuka. Tatapanku fokus dengan keberadaan Pak Ahmad. Wajahnya terlihat tegang tanpa senyum, membuat wajahku secara otomatis memasang wajah sama kaku dengannya. "Silahkan duduk, Pak."

Pak Ahmad langsung mendudukan dirinya tanpa berusaha berbasa-basi. Jarinya mengetuk-etuk permukaan meja, terlihat tidak sabar. Aku sendiri memilih fokus pada atasanku ini, walaupun sebenarnya aku sudah muak. Ingatan mengenai kejadian beberapa hari yang lalu berputar di kepalaku.

Sebagai seorang yang berpendidikan dan berkuasa, cara Pak Ahmad menyelesaikan masalah ternyata benar-benar buruk. Aku berfikir dia akan mengambil tawaranku, tapi ternyata dia malah menyodorkan uang. Bukan bermaksud sombong, tapi mengingat latar belakang keluargaku, uang bukan menjadi masalah. Belum lagi dia memintaku untuk meninggalkan istriku dan menikahi Patricia. Bapak dan anak ternyata sama-sama gila.

"Saya dengar bapak mengajukan resign?" Aku mengangguk sebagai jawaban. Pak Ahmad menghela nafas dalam. "Jadi, anda akan kabur dari tanggung jawab Pak Akhtar? Saya pikir anda pria baik, ternyata saya salah sangka."

Tuduhannya berhasil membuatku semakin kesal. Tubuhku otomatis menegak. Tatapanku lurus padanya. Suaraku mulai meninggi membalas ucapannya. "Tidak ada yang lari dari tanggung jawab, Pak Ahmad. Sudah saya tegaskan bahwa bukan saya yang menghamili putri anda. Saya tahu anda sedang putus asa itulah mengapa anda terus mencoba menuduh saya. Tapi, saya tidak akan tinggal diam kalau Bapak terus memaksa saya. Ini perbuatan tidak menyenangkan, Pak Ahmad."

Tidak ada respon langsung dari Pak Ahmad. Dia terlihat menahan amarah mendengar ucapanku. Sayangnya, apa yang kukatakan tadi bukan hanya gertakan sambal. Aku sudah sangat lelah dengan seluruh drama yang Patricia lakukan dan kini bertambah dengan drama Pak Ahmad. Apalagi aku tidak bisa menceritakan masalah ini pada Sky. Mengingat istriku yang sedang hamil muda, aku berusaha memimalisir cerita-cerita negatif terutama mengenai kekacauan yang Patricia sebabkan. Lagipula aku juga tidak segila itu menceritakan pada Sky bahwa Pak Ahmad memintaku menceraikannya.

"Harus saya akui, saya memang putus asa." Pak Ahmad kembali bersuara. Kedua telapak tangannya mengusap wajahnya dengan gusar. "Setiap kali saya bertanya mengenai ayah janin itu, Patricia terus berteriak meminta anda bertanggung jawab. Dia juga mulai sering tiba-tiha menangis dan tiba-tiba bersemangat. Saya bahkan sampai membawa Psikolog ke rumah, tapi Patricia tetap bungkam. Dia hanya mau anda, Pak Akhtar."

Mendengar cerita singkat Pak Ahmad, aku jadi mulai paham mengenai perubahan perilaku Patricia. Kini giliranku yang menghela nafas dalam. Untuk beberapa saat aku terdiam menatap Pak Ahmad yang semakin terlihat gusar. Otakku terus berfikir untuk mencari cara mengakhiri kegilaan ini.

Call You HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang