📓4 - Galaxy

14.3K 1.5K 167
                                    

Tidak ada siapapun yang menginginkan ketidakadilan di dunia ini, begitupun aku. Tetapi tak dapat dipungkiri bahwa hidup selalu tak adil.

. . .

Mengikuti eskul pertama kalinya merupakan pengalaman berharga bagiku. Aku tidak pernah mengikuti kegiatan-kegiatan di sekolah lamaku. Lagipula aku hanya terpaksa mengikuti eskul PMR dan Padus karena di SMA Trijaya mempunyai peraturan bahwa setiap murid harus memilih setidaknya dua eskul.

Aku berjalan gontai menuju ruang PMR. Sebenarnya aku malas ke sana mengingat tidak ada yang kukenal. Aku menyesal tidak meminta kontak Racha. Aku sudah menghabiskan waktuku mengelilingi sekolah. Setelah setengah berkeliling, barulah aku menemukan ruangan PMR yang berdekatan dengan musala.

"PMR juga?"

Aku kaget. Tiba-tiba saja Arlan sudah berada di sampingku. Kenapa cowok ini selalu saja membuatku terkejut?

"I-iya," ucapku masih setengah sadar.

Dia mengangguk kemudian berjalan melewatiku. Setelah berada pada jarak setengah meter, dia berbalik.

"Ngapain masih bengong di situ? Masuk!"

Aku yang bingung mengikuti perintahnya. Aku mengucap basmalah sebelum masuk.

"Kamu anak yang baru gabung eskul PMR ya?" tanya pembina eskul PMR seketika. Kepalaku terangguk.

"Perkenalkan diri kamu."

Aku mengikuti perkataannya. Seluruh mata kini tertuju padaku membuat tanganku seketika berkeringat dan tubuhku bergetar. Berulang kali aku mengambil napas agar tubuhku segera rileks.

"Namaku Zelin. Aku dari kelas XI MIA 1. Mohon bantuannya, teman-teman."

Aku membuang napas lega. Selang tak berapa lama, seorang cowok mengetuk pintu. Seluruh atensi sekarang berubah haluan.

"Maaf saya telat."

Aku mengenalnya. Dia Rifen ketua OSIS. Kakak pembina langsung membuat gerakan masuk. Kebanyakan cewek yang berada di ruangan itu terpaku menatap Rifen. Ada juga yang sepertinya ingin berteriak namun ditahan. Pasti cowok ini adalah the most wanted SMA Trijaya.

"Oh iya, kamu boleh duduk."

Kepalaku terangguk. Aku mencoba mendekati Rifen yang duduk paling belakang. Lagipula di ruangan ini aku tidak mengenal siapapun selain Arlan dan dia.

"Hai." Aku mencoba menyapanya.

"Kamu. Zelin, kan?"

"I-iya."

"Eh sini, duduk di sebelahku," ucapnya sambil menepuk ruang di sebelahnya.

Seluruh mata menatapku tajam. Aku meneguk salivaku kasar. Aku tidak mengenali mereka. Daripada dikacangi, lebih baik aku duduk di sebelah Rifen. Harus kuakui, Rifen memang terlihat ganteng dan menarik sekali. Dalam jarak dekat, kegantengannya bertambah berlipat-lipat.

"Eh, temen lo mana?" tanya Rifen yang membuat dahiku berkerut.

"Temen yang mana?"

Cowok itu mencondongkan badannya ke arahku membuatku sedikit grogi. "Racha."

"Nah, itu aku nggak tahu. Aku juga nyariin dia."

Rifen mangut sebagai respon. Kemudian dia memperhatikan kakak pembina menjelaskan tentang cara pembuatan tandu.

"Kamu ada kontaknya Racha?" tanyaku pelan.

"Line doang sih. Mau?" tanyanya menawarkan.

Aku menganggukkan kepalaku cepat. "Boleh deh."

Diary Of an Introvert (REPOST)✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang