❝Ketika seseorang memberikan motivasi untukmu, belum tentu dia bisa seperti apa yang dia katakan. Dia hanya ingin kamu tenang saja. Dia ingin, kamu tidak terlalu memikirkannya.❞
. . .
Hampir saja aku terlambat masuk. Bang Jefri tidak memberi kabar akan masuk kuliah pagi-pagi sekali, sehingga tidak bisa mengantarkanku. Hari ini ada ulangan Fisika dan aku tak mau ambil risiko mengikuti ujian susulan. Sangat menyeramkan!
Beruntung aku sangat tepat waktu sampai ke sekolah. Rasanya sudah lama sekali aku tidak menaiki bus. Hatiku rasanya lega sekali.
"Lo udah belajar kan, Zel?" Elis berbisik padaku ketika aku baru duduk sembari menetralisir napas untuk tidak ngos-ngosan.
"Dikit. Aku hampir lupa kalau hari ini ulangan. Untung tadi kebangun cepat."
Elis ingin menyahut, namun keburu Bu Kara memasuki kelas. Aku menarik napas lalu menghembusnya kuat-kuat. Bangku kami telah disusun menandakan sudah siap memulai ulangan Fisika.
Ujian fisika dimulai. Bu Kara berkeliling dari meja ke meja sambil memerhatikan kami dengan tatapan mematikannya. Seluruh siswa di kelas menunduk. Aku sampai tak bisa berkutik apa-apa, walaupun Elis mengajakku berbicara dengan mulut yang diusahakan tertutup rapat.
"Zel, lo udah jawab nomor satu?" tanyanya pelan sambil berpura-pura mengerjakan soal.
Aku menggeleng kemudian tak menggubris pertanyaannya. Sepertinya Elis mulai kesal padaku. Lagipula, aku sedang berusaha menjawab soal-soal yang memusingkan kepalaku. Aku belum benar-benar menyelesaikan soal-soal ini. Takutnya, jawaban yang kuberikan nanti malah salah. Aku benar-benar menyesal karena malam tadi tertidur pulas. Untung saja aku terbangun subuh. Jadilah aku bisa belajar sebentar.
"Tiga puluh menit lagi."
Ucapan Bu Kara bagaikan badai di pagi hari.
"Cha! Mal!"
Elis berisik terus-menerus ke arah Racha, sedangkan aku memilih berkonsentrasi mengerjakan soal-soal yang mungkin tidak bisa ku jawab.
"Elis."
Bu Kara menegur Elis. Aku mendelik ke samping dan melihat Elis langsung terpaku pada kertasnya. Tubuhku jadi ikut-ikutan merinding.
"I-iya, Bu?"
"Kerjakan dengan kemampuanmu sendiri."
"Iya, Bu."
Aku melihat ke depan lagi. Racha membalikkan badannya sembari memutar bola matanya jengah. Sedangkan Revi malah terlihat menahan tawa.
Aku menghabiskan sisa waktu dengan menyelesaikan soal-soal menggunakan kemampuan terbatasku. Maklum, aku agak lemah dibagian hitung-menghitung. Alasanku mengambil jurusan IPA adalah agar aku tidak harus berbicara terus-menerus di depan umum.
Sebuah kertas terlempar mulus di atas meja Elis, membuat fokusku kembali teralih. Aku tidak ingin menghiraukannya. Biasanya juga setiap ulangan, aku menjawabnya sendiri, walau nilaiku lumayan rendah dari teman-teman sekelasku.
"Zelin. Nih!"
Aku menganga sambil menatap kertas yang sudah diremuk hingga membentuk sebuah bola di atas mejaku. Dahiku mulai berpeluh. Aku memang tidak tahu lagi jawaban ulangan fisika. Aku menghembuskan napas kasar. Sesekali menyontek mungkin tidak apa-apa. Buru-buru aku membuka pelan kertas tersebut agar tidak ada yang curiga.
Setelah ulangan selesai, Racha dan Revi berjalan mendekati kami.
"Udah gue bilangkan, kalau Racha atau gue lagi ngerjain, jangan panggil-panggil dulu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Of an Introvert (REPOST)✔
Novela JuvenilFollow @ranikastory on Instagram. Diary Series [1]: Ini aku dan kisahku yang selalu dianggap berbeda hanya karena diriku seorang introvert yang hidup dalam dunia ekstrovert. Aku membenci diri dan hidupku hingga satu per satu kejadian menyadarkanku a...