❝Ketika semua orang tahu tentangku melebihi diriku, di situ aku merasa asing dengan diriku sendiri.❞
. . .
Hari minggu kuisi dengan mendekam diri di dalam rumah. Setelah aku menyibukkan diri membantu Tante Tiara membuat kue nastar, aku masuk ke dalam kamar. Merefresh-kan diri dengan membaca webtoon sepertinya asyik.
Namun baru saja aku membuka ponsel, sebuah chat dari orang yang tak ku sangka muncul.
Arlan
Lo di mana?Di rumah. Kenapa?
Arlan
Kita ketemuan ya, gue lagi di deket taman rumah loHah? Ngapain?
Arlan
Udah, buruan ke siniAku ingin membalas pesannya, namun kuurungkan niatku. Cepat-cepat aku mengganti baju dan bergegas ke taman kota.
Beruntung taman mini dari rumahku hanya menghabiskan waktu 15 menit dengan berjalan kaki. Aku celingak-celinguk mencari sosok Arlan. Kutarik segaris senyum ketika melihatnya sedang berbaring di bangku taman. Aku mendekatinya.
Ketika sudah sampai di dekatnya, aku bingung harus menyapa atau tidak. Cowok itu memejamkan matanya hingga aku tidak tega untuk membangunkannya.
"Baru sampai?" tanyanya ketika aku masih menatapnya. Aku seakan terperangkap dan malu sendiri dibuatnya.
"Ngapain kamu ngajak aku ke sini?" tanyaku mengalihkan.
Arlan menaikkan kedua bahunya. "Biar lo nggak di rumah terus."
Mataku menyipit. "Tahu dari mana aku di rumah terus?"
Dia tersenyum mencurigakan. "Tahu dong."
"Aneh," gumamku pelan.
"Bentar ya," ujarnya bangkit berdiri lalu pergi meninggalkanku begitu saja.
Aku mengangguk sekilas tanpa dilihatnya lalu memainkan ponselku. Aku melihat aplikasi chat-ku sangatlah sepi. Grup pun sunyi seakan tidak berpenghuni. Aku mengernyit ketika melihat Arlan kembali datang membawakan dua es krim.
"Kalau suasana hati lagi buruk, enaknya tuh makan es krim atau coklat gitu." Arlan menasihatiku seperti bapak-bapak.
"Sayang duitnya," jawabku ketus sambil membuka bungkus es krim tersebut.
"Pelit banget jadi orang," jawabnya sambil ketawa-ketiwi.
Baru saja aku ingin menyanggah, namun ketika melihat ekspresi Arlan yang mengerikan, aku jadi bungkam.
"Gawat!" serunya sembari memelototkan mata. Saking melototnya, rasanya mata itu serasa akan copot.
"Kenapa?"
Arlan tidak menjawab pertanyaanku melainkan memegang lenganku dari berlari mengajakku bersembunyi di balik semak-semak.
Aku ingin berdiri, namun dia menahan kepalaku. Aku menepis tangannya.
"Dia siapa?" tanyaku sedikit sebal karena tangannya masih memegang kepalaku.
"Papa gue."
Aku sebenarnya takut melihat orang yang di sebut Arlan sebagai papanya. Tetapi, melihat ekspresi Arlan membuatku ingin menjahilinya. "Kamu takut ya?"
"Nggak kok," jawabnya sewot. "Lihat mantan yang baru kemarin putus udah jalan sama gebetan barunya lebih menakutkan," lanjutnya.
"Pengalaman ya?" Aku menatap sambil nyengir lebar hingga mataku tinggal satu garis. Tanpa sadar, jarak kami sangat dekat sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Of an Introvert (REPOST)✔
Fiksi RemajaFollow @ranikastory on Instagram. Diary Series [1]: Ini aku dan kisahku yang selalu dianggap berbeda hanya karena diriku seorang introvert yang hidup dalam dunia ekstrovert. Aku membenci diri dan hidupku hingga satu per satu kejadian menyadarkanku a...