❝Memaafkan memang mudah terucap, namun melupakan itu sungguh hal tersulit.❞
. . .
Hari ini aku sangat bersemangat ke sekolah. Teman-teman baruku benar-benar sukses membuat diriku tanpa sadar senang berangkat ke sekolah. Tepat pada saat gerbang mau tertutup, dengan gesitnya aku memasuki sekolah sambil nyengir ke arah Pak Satpam.
"Kok telat?" Elis bertanya setelah aku duduk.
"Nungguin Bang Jef. Udah kubilang naik bus aja, tapi dia tetep ngotot mau nganterin aku ke sekolah."
Kulirik Elis mengerucutkan bibirnya. Aku menghela napas sejenak ketika teringat kejadian sepulang sekolah semalam. Aku jadi sedikit kasihan padanya.
Lalu kemudian fokusku beralih ketika Bu Irma masuk. Riko menyiapkan kelas. Bu Irma pu mulai mengabsen satu per satu murid kelasnya. Absen pertama ditempati oleh Abel.
"Abellia Darrel?"
Refleks aku melihat bangku sebelah Windi yang biasanya diisi Abel kosong. Aku mengernyit heran. Apa Abel masih kaget dengan kejadian semalam? Windi dan Mega, oknum yang terlibat tampak santai dengan memasang wajah tak berdosa.
"Abel ke mana?" Bu Irma bertanya karena sedari tadi kelas tidak ada memberi kabar tentang Abel, termasuk Arlan. Aku meliriknya sekilas ke belakang. Dia tampak sibuk melakukan sesuatu di bawah kolong mejanya. Kemudian, aku menghadap ke depan lagi. Aku tidak yakin cowok itu tidak tahu. Sepertinya, dia sedang menyembunyikan sesuatu.
"Windi?"
Kupandangi Windi gelagapan. Tanpa sengaja, aku melihat ke belakang lagi dan memandang Arlan yang menatap Windi tajam, mengintimidasi.
"Nggak tahu, Bu." Dia menjawab sambil memandang ke arah Mega.
Aku mendengkus sebal. Bisa-bisanya dia setega itu pada temannya sendiri. Padahal kulihat, mereka sudah sangat dekat. Terkadang, teman-teman palsu seperti itu, membuat hatiku sakit saja.
Jam pelajaran matematika selesai. Setelah berkutik dengan angka-angka, aku membutuhkan air dingin untuk meredakan kepalaku yang panas. Beruntung Elis mengajakku disusul oleh Revi dan Racha.
Lagi, aku duduk di meja yang biasa kami tempati. Rasanya sudah lama sekali tak berkumpul bersama mereka. Tak sadar, aku sangat merindukan teman-temanku ini.
"Gue heran deh, kok Arlan perhatian banget sama lo, Zel?" Revi memulai pembicaraan. Aku yang sedang menyedot es oranye malah terbatuk.
"Iya. Gue curiga. Kalian ada apa-apanya ya?" Mata Elis memicing, mendekat padaku membuat badanku otomatis condong ke belakang.
"Nggak ada apa-apa kok," jawabku kaku.
"Masalahnya, Arlan itu nggak pernah ngerespon cewek selain ... Abel," sahut Racha yang terdengar sedikit sinis saat menyebut nama Abel.
"Mana tu orang suka banget ngeledekin gue bilis. Tapi, semenjak lo dateng, dia kayak sok baek plus kalem gitu. DIA BAHKAN NGGAK PERNAH NGELEDEK GUE LAGI!"
Seketika kantin langsung terdiam saat Elis berkata dengan teriakan. Aku tercekat, begitupun Racha dan Revi yang membisu. Elis nyengir sambil membuat tanda lambang hati ala orang-orang korea.
"Buat malu aja lu, ogeb." Revi melotot ke arah Elis dan direspon Elis dengan cengiran khasnya lagi.
Setelah menghabiskan makanan masing-masing, Elis melanjutkan perkataannya mengenai Arlan tanpa kehabisan kata-kata.
"Huh, lo nggak tahu gimana parahnya si Arlan. Bawaannya serius mulu. Udahlah dingin sama orang, ngelihat orang sinis mulu, terus kalau ngomong bawaannya ngeledek, belajar aja males."
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Of an Introvert (REPOST)✔
Roman pour AdolescentsFollow @ranikastory on Instagram. Diary Series [1]: Ini aku dan kisahku yang selalu dianggap berbeda hanya karena diriku seorang introvert yang hidup dalam dunia ekstrovert. Aku membenci diri dan hidupku hingga satu per satu kejadian menyadarkanku a...