❝Masalah datang karena Tuhan yakin, aku kuat menghadapinya.❞
. . .
Aku terbangun saat sedang bermimpi ayah ditabrak sebuah mobil. Kuusap wajah dengan telapak tangan sambil mengucap beberapa kali. Air mata ternyata sudah membasahi wajah. Aku mengingat semuanya, kenangan buruk yang selalu kupaksa hapus dari ingatanku.
Aku menghembuskan napas berat. Setelah beberapa menit, aku mulai beranjak ke arah cermin. Kulihat penampakan diriku yang terlihat menyeramkan. Segera aku menjauh lalu duduk di atas kasur. Tak ada aktivitas apapun, hanya sekadar merenung.
Setelah dirasa lega, aku mengambil ponsel yang tergeletak begitu saja. Tertera di layar ponsel 30 panggilan masuk dan 15 pesan. Semuanya tertulis dengan nama Arlan.
"Pao?"
Pintu kamarku diketuk.
"Pao, keluar bentar, Sayang. Tante sama Om mau pergi."
Walau ucapan itu masih terngiang jelas, tetapi aku tak mungkin mengabaikan orang-orang yang serumah denganku. Apalagi di sini aku hanya menumpang. Aku cukup sadar diri.
Aku menghembuskan napas. Dengan langkah berat, kubuka pintu kamar. Tante Tiara terlihat cantik dengan mengenakan kebaya. Om Willy juga terlihat tampan dengan setelan jasnya. Mereka benar-benar tampak serasi.
"Pao, siap-siap yuk. Tante sama om mau pergi ke acara undangan nikahan teman Tante."
Aku tersenyum. Tentu saja aku sudah biasa senyum palsu seperti ini. "Pao di rumah aja, Tan. Lagi nggak enak badan juga. Nggak papakan, Tan?"
Sebenarnya aku tidak enak hati karena baru kali ini aku menolak permintaan orang.
"Okelah, kamu beli makan di luar aja ya. Nanti Tante suruh Jefri beli sebelum dia pergi."
"Nggak usah, Tan, beneran. Kalau lapar, Pao bisa masak apa aja yang ada di dapur."
Tante Tiara menatapku lekat. Sementara Om Willy terlihat tegang.
"Tante sama Om pergi dulu ya."
Aku mengangguk kemudian memandang pasangan tersebut sampai mereka keluar dari pintu rumah. Setelah mereka pergi, segera aku meluncur ke kamar mandi.
Hari minggu kuhabiskan dengan melamun. Aku terkejut sendiri ketika pintu kamar sedang diketuk.
"Pao, mau dibeliin makan apa?"
"Nggak usah, Bang. Pao masak sendiri aja," sahutku sambil mengusap pelan wajahku.
Hening beberapa saat. Hingga suara Bang Jefri kembali terdengar. "Abang pergi ya."
"Iya," jawabku teramat pelan.
Refleks aku mengigit bibir bawahku. Suasananya sekaku itu sekarang.
. . .
Hari senin tiba. Sedari tadi aku hanya mondar-mandir. Mau turun, tetapi pasti suasananya akan kaku sekali. Sudah akunya kaku, ditambah dengan suasana kaku. Jadinya ambigu.
Tetapi, aku harus berangkat sekolah. Dengan keyakinan yang tersisa, segera aku mengambil tas dan turun ke bawah.
"Pao, makan dulu yuk," ajak Tante Tiara ketika aku ingin segera berpamitan padanya.
Aku segera berdalih. "Pao ada piket kelas. Nanti Pao pasti makan di kantin."
Aku berdoa dalam hati. Semoga saja Tante Tiara tidak marah padaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Of an Introvert (REPOST)✔
Novela JuvenilFollow @ranikastory on Instagram. Diary Series [1]: Ini aku dan kisahku yang selalu dianggap berbeda hanya karena diriku seorang introvert yang hidup dalam dunia ekstrovert. Aku membenci diri dan hidupku hingga satu per satu kejadian menyadarkanku a...