📓33 - Kepergian

5.8K 772 156
                                    

Aku tak lebih dari seorang pengecut. Bahkan mengucap kata selamat tinggal saja aku tak mampu.

. . .

"Zelin, bangun!"

Aku mengucek mata berulang kali sebelum berhasil duduk, mengumpulkan oksigen sebanyak mungkin.

"Kebo banget sih lo, dibangunin susah amat."

Mataku terasa lekat sekali seakan susah terbuka. Ini efek diriku yang tidak bisa terlelap dan malah memainkan ponsel sembari mengestalk Arlan.

Namun tiada apapun hal penting yang kudapatkan. Cowok itu ternyata tidak terlalu maniak dalam bermain sosmed.

"Jam berapa nih?" tanyaku masih memejamkan mata walau sudah terduduk.

"Jam 7. Bangun dong, Zelin. Gue udah laper nih."

Aku pun beranjak dari dudukku sembari meletakkan bantal di atas kasur serta melipat kasur.

"Iya-iya. Kalian udah mandi?"

"Belum. Tapi Racha udah tuh."

Aku menoleh. Racha tampak nyengir, memamerkan deretan gigi putihnya. Aku menggelengkan kepala sejenak.

"Ya udah, kita turun dulu yuk."

Aku meletakkan kasur yang kutiduri di tepi ruangan lalu keluar dari kamar.

"Duh anak gadis, baru bangun."

Aku duduk di kursi makan, begitupun teman-temanku yang lain. Tiada rasa sungkan sedikitpun. Seakan mereka bukan tamu saja.

"Maaf, Bun."

"Cuci muka dulu, sikat gigi baru makan."

Aku menghela napas, menurut dan pergi ke toilet. Setelah itu aku kembali ke meja makan.

"Yuk makan, Pao." Kak Zara berbasa-basi padaku dan duduk di sebelahnya.

Otakku mulai berfungsi. Pandanganku menyapu sekeliling. Terkadang aku bingung alasan Tante Tiara dan Om Willy membeli meja makan yang cukup luas seperti ini. Padahal mereka hanya tinggal bertiga saja.

"Rencananya hari ini kalian mau ke mana?"

"Jalan-jalan dong, Tan."

"Panggil aja Bunda." Bundaku meralat. "Bunda senang kalian datang nemanin Zelin di sini."

Mereka tersenyum, aku sendiri menghela napas sambil menyendokkan makanan ke mulutku.

"Belakangan ini Zelin sering murung. Kali aja setelah jalan sama kalian, mood-nya membaik lagi," sambung Tante Tiara ramah.

Aku menguap. Mataku benar-benar berat seakan ingin melanjutkan tidur. Namun tentunya rencanaku tidak akan terwujud. Ketiga temanku pasti akan mengajakku jalan-jalan selepas ini.

Kulihat satu per satu temanku. Mereka cepat sekali akrab dengan keluargaku. Aku tersenyum kecut dan kembali bertanya-tanya.

Kenapa aku tidak bisa seterbuka mereka kepada orang lain?

Aku hampir tersedak ketika pandanganku tepat ke arah Revi. Bisa-bisanya Revi dan Bang Jefri saling melempar kode dengan tatapan mata. Aku mendengkus lalu kembali menyantap nasi gorengku lamat-lamat.

. . .

"Beneran nggak mau ketemu Arlan
dulu?"

Lenguhan panjang keluar dari bibirku. Entah sudah berapa kalinya mereka menanyakan pertanyaan yang sama.

Diary Of an Introvert (REPOST)✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang