❝Tidak ada yang tahu jalannya takdir. Kemarin, dia penolong hidupku. Sekarang, dia penghancur hidupku.❞
. . .
Lagi lagi sikap Bang Jefri kembali protektif hingga mengantarkanku ke sekolah lagi. Seperti pada awalnya, ketika Bang Jefri datang, semua mata tertuju pada kami. Mereka sepertinya tidak tahu kalau Bang Jefri adalah anak dari kepala sekolah mereka.
"Lo udah baikan sama Bang Jef?"
Racha tiba-tiba saja sudah berada di sampingku. Kepalaku terangguk.
"Kan apa gue bilang, dia lagi emosi aja tuh," katanya dengan penuh keyakinan.
Aku tersenyum lega. Kami berjalan bersama menuju ruang PMR. Ketika melewati mading sekolah yang sedang dikerumuni siswa siswi SMA Trijaya, tanpa sengaja aku melihat wajah Abel terpampang jelas. Aku berhenti sejenak untuk melihat headline yang bertuliskan "Anak Ketua Komite Sekolah si Ratu bullying" tertulis dengan huruf kapital, besar nan tebal.
"Kenapa, Zel?" Racha kembali menyadarkanku yang berhenti sejenak melihat mading.
"Nggak papa. Ayo!"
Aku kembali berjalan mendahului Racha. Aku malah jadi kasihan dengan Abel. Aku jadi penasaran dengan orang yang iseng membuat berita seperti itu. Kuker sekali hidupnya!
Sepanjang eskul, Arlan mengangguku terus-menerus. Aku hanya cuek seakan tidak memperdulikannya. Entah kenapa kata putus tiba-tiba terngiang dari kepalaku.
"Makan yuk!" Elis mengajak ketika kami sudah selesai eskul.
"Ayuk!"
Baru saja berjalan bersama, aku malah dikagetkan dengan kehadiran orang yang mendadak berada di depanku.
"Gue mau ngomong sama lo." Abel menatapku tajam.
"Mau apa lagi sih lo?" Elis menyanggah.
"Bukan urusan lo, Kumbang!"
Elis tampak terdiam. Segera sebelum Elis mengamuk aku pergi menyusuli Abel. Guratan kekhawatiran terlihat dari wajah Abel.
"Lo beneran ketemu Om Abran?" tanyanya to the point.
Melihat Abel, aku jadi teringat berita yang ada di mading tadi. "Kamu nggak papa?"
"Bukan waktunya nanya keadaan gue. Jawab pertanyaan gue tadi!"
"Om Abran itu siapa?"
"Papanya Arlan!"
Kaget tercipta dari dadaku. Oh jadi nama papanya Abran.
"I-iya. Kenapa?"
Abel menepuk jidatnya. "Mampus! Om Abran nggak suka kalau Arlan pacaran sama cewek selain gue."
Aku terkaget ketika Abel sontak memegang kedua lengan bahuku dengan erat. Matanya menatapku lamat-lamat.
"Kalau lo ketemu dia lagi, lo harus bilang udah putus sama Arlan."
Salivaku terteguk kasar. "Aku memang mau putus sama Arlan," ujarku pelan.
Mendengar jawabanku, lantas wajah Abel terlihat berang.
"Lo kayak gitu aja udah nyerah. Lemah banget sih lo!"
Abel sedikit mendorong bahuku, namun cukup membuat badanku terdorong ke belakang. Kepalaku tertunduk. Aku memang selalu lemah, seakan tidak ada harapan dalam hidup.
"Sekarang Om Abran lagi nyari identitas lo!"
Ucapannya sukses membuatku melotot.
"Aku harus gimana?" Aku panik. Untuk apa papanya Arlan mencari identitasku?
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Of an Introvert (REPOST)✔
Fiksi RemajaFollow @ranikastory on Instagram. Diary Series [1]: Ini aku dan kisahku yang selalu dianggap berbeda hanya karena diriku seorang introvert yang hidup dalam dunia ekstrovert. Aku membenci diri dan hidupku hingga satu per satu kejadian menyadarkanku a...