📓9 - Keputusan Yang Salah

12.2K 1.1K 112
                                    

Hidup ini kamu yang menjalani, kamu adalah penulis kisah hidupmu. Jangan biarkan orang lain yang menentukannya.

. . .

Setelah mematut diri di depan kaca dengan seragam sekolah, aku bergegas keluar dari kamar. Betapa terkejutnya diriku ketika melihat Bang Jefri sudah mengenakan pakaian rapi. Ini masih setengah lima. Apa dosennya menyuruhnya masuk pagi-pagi lagi?

"Ayo kita ke sekolah!"

"Abang ngapain?" tanyaku bengong.

"Ya nganterin kamu," jawabnya santai sambil bersender di dekat tembok, tepat di sebelahku dengan satu kaki terangkat.

Aku menggaruk tengkuk leherku. "Nggak usah, Bang. Biasa juga Pao berangkat sendiri."

"Pao, kalau orang lagi baik itu jangan disambut kayak gitu. Pamali!"

Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Bang Jefri mulai berjalan menuju undakan tangga. Sebelum turun, dia melihatku lagi.

"Ayo! Masih pagi nggak boleh bengong-bengong."

Aku tersadar dari lamunan. Bergegas, kuikuti Bang Jefri dari belakang. Kami sarapan bersama sebelum berangkat. Om Willy dan Tante Tiara terheran-heran melihat Bang Jefri ingin mengantarku ke sekolah. Karena memang biasanya kalau tidak ada jadwal kuliah, Bang Jefri masih molor saja di atas kasur. Itu kesimpulan yang aku dengar sembari makan. Aku sendiri diam saja sepanjang makan, tidak ingin ikut campur dengan pembicaraan mereka.

Setelah selesai, aku dan Bang Jefri pamit berangkat duluan. Aku menaiki motor besar milik Bang Jefri. Sesampainya di sekolah, seluruh mata tertuju padaku. Aku benci diperhatikan seperti sekarang ini. Cewek-cewek yang berada di koridor terlihat memerhatikan Bang Jefri. Ya, kuakui abang sepupuku itu terlihat keren hari ini dengan jaket kulitnya.

"Zel! Lo berangkat sama abang lo?" Revi dan Elis menghampiriku ketika aku berjalan menuju arah kelas XI MIA I.

"Iya," responku singkat.

"Gils! Kok nggak bilang-bilang sih?" Revi terlihat sedikit histeris. Elis juga ikut-ikutan.

"Iya ih, lo kok nggak bilang-bilang? Gue kan nggak mau ketinggalan kereta," sela Elis.

Aku bingung melihat mereka. "Memangnya kalau aku bilang, kalian mau ngapain?"

"Ya nggak papa sih," jawab Revi sambil terkikik, diikuti oleh Elis. Aku menatap mereka aneh. Jelas-jelas semalam Elis menangis sesenggukan karena Dino. Sekarang dia malah bisa cekikikan ketika hari masih pagi?

Sesampainya di kelas, aku mendengar beberapa teman cewek sekelas membicarakan abang sepupuku. Suasana kelas kini mulai riuh. Tentu saja aku membenci kondisi ini. Beruntung Bu Varia selaku guru mata pelajaran Biologi datang tepat pada waktunya sehingga aku tidak harus mendengar keributan kelas.

Setelah jam pelajaran pertama selesai, aku dan Elis berdiri, ingin pergi ke kantin. Namun, semuanya gagal setelah kulihat Rifen memasuki kelasku.

"Eh, ada ketos. Nyariin aku ya?"

"Jangan mimpi lo, Meg!" Mirel langsung menyerbu Mega yang terlihat mulai cari perhatian Rifen. Mega terlihat kesal dengan perkataan Mirel. "Lo pasti nyariin Racha, kan?" tanya Mirel kepada Rifen.

"Nggak kok. Gue nyari Zelin."

Seluruh teman-teman sekelasku seketika bengong mendengar perkataan Rifen. Aku juga kaget mendengar perkataannya.

Aku dapat melihat Yuri tersenyum miring. "Udah ganti ya? Biasa juga Racha." Aku mengetahui namanya karena melihat badge name yang terpasang di dadanya. Kebetulan tempat duduknya bersebelahan denganku.

Diary Of an Introvert (REPOST)✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang