"Kenapa mendadak sekali, Mbak?"
"Seperti yang pernah saya bilang sebelumnya, Mas Fajar. Kita nggak akan tahu apa yang akan terjadi esok. Ketika saya melihat info mengenai event Gallery Art Batch 2 itu, entah kenapa hati saya tertarik untuk ikut berpartisipasi. Dan... Ini adalah sebuah kesempatan yang luar biasa. Saya bersyukur sekali bisa ikut berkolaborasi dengan para ilustrator mancanegara. Saya harap Mas Fajar memaklumi kondisi ini."
Mas Fajar diam sebentar. Ia mengambil cangkir berisi hot espresso dari atas meja dan meneguk perlahan. "Saya juga nggak bisa memaksa sih, Mbak. Walau saya sangat berharap Mbak Rara bisa ikut ke Italia. Sayang sekali waktunya bisa sama gitu yaa."
Rara menggigit bibir bawahnya. Baru kali ini ia merasa sangat canggung di depan Mas Fajar.
Hari ini mereka ada janji bertemu untuk preview mock up hasil ilustrasi dan desain. Progres pengerjaan pun lebih cepat dari estimasi Rara semula. Rara sangat antusias mengerjakan project cafe Mas Fajar, bukan hanya senang saat mengerjakannya, melainkan karena ia ingin project dari Mas Fajar segera selesai. Perasaan untuk Mas Fajar tidak boleh dibiarkan bertumbuh dengan baik. Rara bersikeras meredam apa pun itu yang berkaitan dengan Mas Fajar.
"Sepertinya Mbak Rara ingin fokus pada event Gallery Art Batch 2 di Jepang ya?" celetuk Mas Fajar, nadanya sedikit menunjukkan kekecewaan. Ia berusaha untuk tidak memperlihatkan itu, namun Rara bisa membaca dengan jelas dari raut wajahnya. Mas Fajar kecewa.
"Eh?"
Mas Fajar sibuk membolak-balik hasil cetak mock up desain dan ilustrasi yang telah dibuat oleh Rara. Namecard, flyer, sign box, wallpaper wall, bookmenu, table number, dan segala keperluan untuk cafe. "Mbak Rara menyelesaikan semua ini lebih cepat dari estimasi timeline."
Mas Fajar menyimpulkan dengan sangat baik. Fokus pada event Gallery Art Batch 2 adalah salah satu alasan menyibukkan diri agar Rara dapat menepis perasaan dan pikiran tentang Mas Fajar.
"Hahahahaha..." Rara tertawa, tanpa alasan.
"Kenapa tertawa, Mbak?" Mas Fajar menatap tajam. Sorot mata yang tampak berbeda. Rara bisa merasakan sesuatu dari Mas Fajar, namun kali ini ia tidak bisa memastikan ada apa di balik tatapan itu.
"Hmmm." Rara salah tingkah. Sudah lama ia tidak merasakan dadanya berdegup secepat ini. Seperti ada sesuatu yang kembali hidup setelah bertahun-tahun mati.
"Nggak apa-apa. Iya, saya ingin fokus pada Gallery Art Batch 2, Mas. Saya ingin memberikan yang terbaik." Ia mengalihkan perasaannya.
"Kapan rencana keberangkatan, Mbak? Hari apa lebih tepatnya?"
"Hari Jumat minggu depan, Mas."
***
Delapan bulan kemudian.
Merona berada di antara kepadatan penumpang kereta pagi ini. Satu stasiun lagi ia akan turun. Sudah satu bulan ia menjadi anak kereta, sebab kantor tempat Merona bekerja berada di daerah Tebet. Akses kereta adalah satu-satunya pilihan bagi Merona. Menurutnya lebih baik harus berdesakan di dalam gerbong kereta tapi tidak memakan waktu lama, ketimbang harus bermacet-macet ria di antara kepadatan kendaraan pribadi dan angkutan umum di jalan raya.
Pintu gerbong kereta terbuka, tiba di Stasiun Tebet. Merona melangkahkan kaki keluar dari gerbong, tidak perlu melakukan aksi saling dorong sebab hampir sebagian penumpang yang berdiri di depan pintu juga turun di stasiun yang sama.
"Merona?"
Merona memutar kepala, baru saja ia mendengar seseorang memanggil namanya. Peron stasiun dipadati banyak manusia yang hendak mencari rezeki pagi ini. Di sebelah kanan tubuhnya, Merona menemukan sosok yang tampak tidak asing. Kedua mata Merona spontan terbelalak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Merona Oranye
General Fiction"Sampai pada akhirnya yang tetap adalah yang tepat." Jangan sengaja berjalan untuk mencari. Terus saja melangkah. Dalam perjalanan, kamu akan menemukan. Ah, sesungguhnya dipertemukan, oleh semesta. Selamat menemukan! ❤ __________ Cover Design : sace...