Rara berputar di tempat, matanya mengelilingi ruangan lantai satu Rumah Holahoho dan mengamati buku-buku yang tersusun apik di dalam rak. Di pojok ruangan ada beberapa meja lipat yang juga tersusun dengan baik. Rara dapat menilai dengan baik kalau Ben adalah seseorang yang menyukai kerapian. Sebetulnya Rara sudah bisa melihat itu sewaktu mereka tinggal di Apato. Pernah sekali waktu Rara melewati kamar Ben dan pintunya terbuka lebar. Sejak itu Rara dapat membuktikan bahwa tidak semua kamar laki-laki berantakan.
Hari ini, Rara semakin yakin dengan penilaiannya. Ruko bekas yang Ben jadikan perpustakaan memang layak dijadikan tempat singgah untuk anak-anak. Belum sampai setengah jam Rara berada di sana, ia sudah merasa nyaman. Lantai yang dilapisi karpet lembut berwarna biru cerah ini pun bersih dan tidak berdebu.
"Kalau di lantai dua, ada buku apa aja?"
"Genre-nya lebih berat. Detektif, biografi, novel terjemahan, sastra, dan motivasi. Kalau di lantai satu, saya memilih buku yang berisi ilmu pengetahuan umum, buku dongeng, novel ringan tentang kehidupan sehari-hari, ada beberapa buku sastra dan motivasi yang bahasanya nggak terlalu berat untuk dibaca anak-anak."
"Kalau di bawah itu ada apa?" Rara menunjuk ke rak paling bawah yang memiliki pintu bukaan terbuat dari kayu.
"Kertas dan alat menggambar. Ada hasil karya anak-anak juga."
"Kamu buka kelas menggambar di sini?"
Ben menggelengkan kepala. "Kadang kalau anak-anak bosan membaca, mereka minta diajarin menggambar karena mereka tahu saya suka menggambar. Kadang saya membiarkan mereka asyik menggambar sendiri, sedangkan saya kerja di depan laptop, di sana." Ben menunjuk ruang kerjanya di pojok ruangan.
"Saya boleh main ke ruang kerja kamu?" Rara nyengir kuda. Ben menatap dingin, tetapi Rara tahu Ben tidak sedingin yang ia tampilkan. Rara merasa ada banyak sisi lain dalam diri Ben yang tidak ia tunjukkan. Entah bagaimana Rara bisa merasa seyakin itu.
Ben mengangguk dan menjulurkan tangan tanda mempersilakan Rara masuk ke dalam ruang kerjanya. "Tapi sempit," ujarnya singkat.
"Nggak apa-apa. Kan saya nggak berniat tinggal di sana, tidur di sana, kerja di sana, dan masak di sana. Saya hanya mau main."
Ben tertawa. Rara melihat ke arah kedua mata Ben. Teduh. Ekspresi tawa yang tulus, tidak dibuat-buat. Rara tersenyum kemudian melangkahkan kaki menuju ruang kerja Ben.
"Sudah saya duga."
"Tentang apa?"
"Kamu rapi, Ben. Termasuk laki-laki rapi yang pernah saya temui. Bahkan terlalu rapi untuk ukuran makhluk bernama laki-laki."
"Saya suka sesuatu yang teratur. Padahal isi kepala saya berantakan."
Rara melirik Ben yang sedang bersandar pada dinding anak tangga. "Karena banyak hal yang ingin kamu luapkan, banyak hal yang ingin kamu bicarakan, banyak hal yang ingin kamu ceritakan, tetapi kamu merasa sulit membagi semua itu. Saya benar?"
Ben diam. Selang semenit kemudian ia tersenyum tipis, mengakui apa yang Rara katakan. Ben mengangguk, tanda setuju.
"Saya sering merasa seperti itu. Menurut teman-teman saya, katanya saya ceria. Saya easy-going. Saya mudah membaur dengan banyak orang yang baru saya kenal. Padahal banyak sekali hal yang saya pendam sendirian. Saya hanya nggak ingin membagi semua yang saya pikirkan dan semua yang saya rasakan ke mereka. Saya nggak terbiasa melakukan itu, sehingga saya nggak bisa. Saya pernah bilang ke sahabat saya, namanya Oca, saya bilang bahwa saya hanya ingin membagi kebahagiaan kalau di depan banyak orang. Saya nggak ingin membagi perasaan dan masalah saya pada mereka. Terkadang saya iri dengan mereka yang bisa dengan mudah curhat banyak hal pada siapa pun."
![](https://img.wattpad.com/cover/123908352-288-k556007.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Merona Oranye
Fiksi Umum"Sampai pada akhirnya yang tetap adalah yang tepat." Jangan sengaja berjalan untuk mencari. Terus saja melangkah. Dalam perjalanan, kamu akan menemukan. Ah, sesungguhnya dipertemukan, oleh semesta. Selamat menemukan! ❤ __________ Cover Design : sace...