"Ben, kamu mimisan!"
Darah mengalir pelan keluar dari lubang hidung Ben. Ini adalah hari terakhir event Gallery Art Batch 2. Dua puluh sembilan hari terakhir event telah berjalan lancar. Ada beberapa karya yang diminati pengunjung dan terjual dengan harga yang sangat baik. Untuk pertama kalinya Rara bergabung dalam acara pameran internasional dan mendapatkan apresiasi karya yang luar biasa.
Satu karya individu milik Rara telah laku diadopsi oleh seorang seniman asal Thailand. Sedangkan karya kolaborasi tim Rara ditawar dengan harga yang jauh lebih tinggi dari harga penawaran semula oleh seorang pelukis asal Bali, Indonesia.
Para peserta yang terjun langsung ke Osaka Exhibition Hall selama sebulan penuh diberikan vitamin dan asupan makanan yang cukup oleh panitia penyelenggara, tetapi siang ini Ben tumbang. Ia kelelahan.
Rara, yang kebetulan sedang bersama Ben di tengah ruang pameran, dengan sigap menemani Ben menuju ruang peserta di belakang gedung. Ben agak demam, namun suhunya tidak terlalu tinggi. Ben merebahkan tubuh di atas sofa panjang. Rara memberikan Ben obat untuk meredakan demam yang ia ambil dari kotak obat di atas meja yang terletak di sudut kanan ruangan.
"Saya nggak sempat sarapan tadi pagi. Lupa minum vitamin juga dari kemarin siang." Ben menjelaskan tanpa Rara minta.
Tok tok tok...
"Ah, akhirnya aku menemukanmu, Rara!! Ada pengunjung yang tertarik dengan karya keduamu," Laurent, salah satu peserta yang juga merupakan teman satu tim Rara dalam karya kolaborasi, membuka pintu dan memberi kode pada tangan agar Rara segera menuju ruang pameran. "Ben? Ada apa? Kamu sakit?"
"Saya baik-baik saja. Sedikit nggak enak badan. Setengah jam lagi saya kembali ke ruang pameran," Ben menyahuti pertanyaan Laurent. "Kamu ke ruang pameran saja, Ra. Saya nggak apa-apa sendiri di sini." Ben mengalihkan pandangan mata ke Rara.
"Yakin?" Rara ragu.
Ben menganggukkan kepala, lemah.
"Ayo, Rara..." ucap Laurent.
Rara mengangguk tanda setuju akan segera pergi. Baru saja Rara ingin menutup pintu ruangan, Ben bersuara, "Rara, terima kasih ya."
**
"Kamu sedang apa di sini?" Ben berdiri tepat di samping Rara.
"Melihat langit," sahut Rara singkat.
"Gelap."
"Kenapa kamu ke sini?" Rara balik bertanya, kepalanya masih mendongak ke arah langit malam, kedua matanya tidak pernah jenuh menikmati keindahan langit. Rara mencintai langit, menerima segala kondisinya ketika terang maupun gelap. Rara mencintai langit seperti apa adanya langit.
"Di dalam terlalu ramai. Saya nggak nyaman."
Setengah jam yang lalu, Rara memutuskan keluar dari ruang makan. Malam ini selepas penutupan event Gallery Art Batch 2, para panitia penyelenggara dan seluruh peserta merayakan keberhasilan acara dengan makan malam bersama. Sekarang sudah jam 00.25 dini hari.
"Kamu introver ya?" celetuk Rara.
"Iya."
"Saya juga."
"Saya tahu."
"Terbiasa menjadi pendengar."
"Hanya bisa berbagi isi pikiran dan perasaan ke orang-orang tertentu."
"Orang-orang yang membuat si introver merasa nyaman."
"Saya nyaman sama kamu."
Rara diam. Sebentar menoleh ke arah Ben yang sedang menikmati langit malam yang gelap. Kondisi Ben membaik setelah minum obat tadi siang. Selang hampir setengah jam, Ben menepati ucapannya. Rara yang tengah sibuk berbincang dengan para pengunjung, lantas tersenyum ketika melihat Ben kembali hadir di ruang pameran.
Rara kembali mendongakkan kepala, ke arah langit. "Gelap."
"Sebentar lagi bercahaya. Kalau kita bersedia menunggu pagi, langit akan kembali terang. Kembali tampak lapang. Kembali tampak luas. Selalu saja menenangkan."
"Kalau kita bersedia menunggu matahari memunculkan sinarnya. Kembali menghadirkan rasa damai dan teduh."
"Gelap."
"Tapi saya menikmatinya."
"Saya juga."
***
November 2015.
Kondisi kesehatan Papa semakin menurun, padahal Bunda tidak pernah lupa memberikan Papa obat sesuai resep dari dokter. Sudah setahun Papa menolak terapi lagi. Sejak dua bulan kemarin, aku dan Bunda sering memergoki Papa sedang jajan di warung yang berada di depan gang rumah. Jajan sembarangan, membeli makanan dan minuman yang merupakan pantangan untuk tubuh Papa menurut dokter.
Hal-hal seperti ini yang kemudian bisa menjadi bahan keributan di rumah. Lelah. Sungguh. Aku hanya bisa diam. Untuk kesekian kalinya aku hanya bisa diam. Pernah beberapa kali aku coba menyuarakan isi pikiran dan emosi yang sudah terlalu lama aku rasakan dan pendam sendirian, namun aku menjadi sangat meledak-ledak pada Papa.
Di luar kendali aku berteriak, mengungkapkan semua kekecewaan dan kemarahan pada Papa sambil menangis. Setelah itu aku merasa bodoh. Aku merasa sudah membuat suasana menjadi lebih buruk. Setiap kali aku berlaku seperti itu, Bunda memilih diam namun tiba-tiba memelukku dari belakang dan menuntunku masuk ke dalam kamar. Memaksaku berhenti bicara pada Papa. Aku seperti anak yang durhaka. Setiap kali itu juga Papa diam. Papa hanya memperhatikan aku yang berteriak sambil menangis. Aku merasa sangat kacau.
Aku kembali memilih untuk diam. Untuk meredam marah, kecewa, sedih, dan segala perasaan yang sangat berkecamuk. Yang bisa aku lakukan kemudian hanya menangis, merasa semesta tidak adil membuat keluargaku jadi berantakan dan kacau seperti ini. Aku merasa bodoh. Menyalahi takdir semesta adalah suatu kebodohan dan kesalahan.
Aku memilih diam, untuk segala hal yang aku rasakan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Merona Oranye
Ficțiune generală"Sampai pada akhirnya yang tetap adalah yang tepat." Jangan sengaja berjalan untuk mencari. Terus saja melangkah. Dalam perjalanan, kamu akan menemukan. Ah, sesungguhnya dipertemukan, oleh semesta. Selamat menemukan! ❤ __________ Cover Design : sace...