18 . Penerimaan

734 64 0
                                        

Mas Fajar bertatapan dengan Ben. Sudah hampir lima menit mereka melakukannya, seolah-olah menikmati waktu meski sebenarnya tidak. Di luar dugaan, tiba-tiba Mas Fajar menjejakkan kaki di kamar rawat inap Rara. Bertepatan dengan keputusan Ben ingin menemani Rara dengan bermalam di rumah sakit.

Ben memecah kesunyian. "Saya nggak tahu kalau pacar kamu akan datang ke sini. Lebih baik saya kembali ke Apato saja. Saya izin pamit ya." Ben bergegas keluar dari kamar rawat inap dan pergi meninggalkan rumah sakit.

Rara panik. Ben telah keliru menduga. Rara tidak berpacaran dengan Mas Fajar. Tidak akan mungkin. Namun untuk mengejar Ben keluar dari kamar rawat inap dan memberikan penjelasan adalah hal yang mustahil. Rara masih terbaring lemah di atas tempat tidur dengan kondisi pergelangan tangan kiri masih terpasang selang infus.

"Laki-laki tadi siapa, Mbak Rara?" Mas Fajar bertanya to the point.

"Mas Fajar kenapa bisa ada di sini?" Rara bertanya balik, bingung.

"Ah, mmm.. Dapat kabar dari teman Mbak Rara, Oca. "

"Eh? Kalian saling berkomunikasi?"

"Waktu event Creative Art and Food, kami bertukar nomor WhatsApp."

"Untuk?" Di dalam kepala Rara muncul banyak sekali pertanyaan. Ia tidak dapat memahami bagaimana bisa Mas Fajar dan Oca bertukar nomor WhatsApp padahal hanya bertemu di satu event? Bagaimana bisa Oca memberi kabar pada Mas Fajar perihal Rara sakit dan dirawat? Apa yang Mas Fajar lakukan saat ini? Memutuskan pergi ke Jepang hanya untuk menjenguk Rara? Jarak antara Indonesia - Jepang itu jauh. Bukan sebatas beda kota, bukan sebatas beda pulau. Apa maksud dan tujuan Mas Fajar melakukan semua ini? Apa yang Mas Fajar dan Oca lakukan di belakang Rara?

Mas Fajar diam.

"Mas?" Rara semakin penasaran. Tingkah laku Mas Fajar memberi sinyal bahwa ia sedang menyembunyikan sesuatu.

"Bagaimana kondisi, Mbak? Udah membaik?"

"Mas Fajar, saya bukan tipe orang yang suka berbasa-basi. Mas Fajar belum menjawab pertanyaan saya dan seperti sengaja mengalihkan pembicaraan. Kalau saya boleh tahu, ada apa di balik semua ini?"

Kedua mata Mas Fajar tajam menatap Rara.

"Sebetulnya ini di luar rencana saya. Tapi Mbak Rara jauh lebih kritis dari yang saya kira," Mas Fajar membuka penjelasan. Rara menatapnya lekat-lekat. Ada sesuatu yang terlupakan oleh Rara. "Mohon maaf kalau sebelumnya saya lancang. Kedatangan saya ke sini hanya ingin memastikan kondisi Mbak Rara baik-baik saja."

"Kenapa harus melakukannya? Indonesia - Jepang itu jauh loh, Mas."

"Karena saya mengkhawatirkan Mbak Rara. Di sini Mbak sendirian, nggak ada sanak-saudara. Mbak Rara sakit sampai harus dirawat. Bagaimana mungkin saya nggak khawatir?"

Rara menganalisis setiap kata yang diucapkan oleh Mas Fajar. Kepalanya tiba-tiba terasa sakit. Ada sesuatu yang tidak ia pahami. "Kenapa harus khawatir sama saya?"

"Saya sayang Mbak Rara."

***

Juni 2013.

Kepalaku pening. Sejak jam lima sore aku sibuk mengerjakan layout majalah. Freelance lagi, demi keberlangsungan hidup mahasiswa tingkat tiga yang akan banyak mengeluarkan dana untuk Tugas Akhir dan Display Karya. Entah akan menghabiskan dana berapa ratus ribu? Atau mungkin nominalnya bisa sampai satuan juta? Aku harus kerja keras!!

Klien kali ini aku dapat dari seorang kawan satu kelas di kampus. Klien membutuhkan dua layouter untuk majalah digital. Ini adalah edisi pertama. Bulan depan akan launching. Menjadi sulit dan cukup melelahkan karena aku dan kawanku harus memikirkan key visual majalah secara keseluruhan, sehingga bisa memudahkan pengerjaan desain untuk edisi-edisi selanjutnya.

Sekarang sudah jam 23.10. Aku baru saja masuk ke dalam kamar, sebab sejak sore aku bekerja di ruang tamu. Sekitar satu setengah jam yang lalu, Papa memintaku untuk masuk ke dalam kamar dan segera tidur. Aku enggan menggubris. Sudah terbiasa tanpa perhatian dan kepedulian dari Papa.

Hari ini untuk pertama kalinya Papa mulai buka suara, tapi terkesan menjadi sangat menyebalkan. Rasanya aku ingin menimpali, "Nggak usah peduli sama Merona ya, Pa. Bertahun-tahun Merona kehilangan sosok dan peran Papa di rumah. Merona terbiasa melakukan apa-apa sendiri. Merona terbiasa mengambil keputusan sendiri. Merona hilang ingatan pada semua perhatian dan kepedulian dari Papa. Sekarang Merona kerja untuk kehidupan Merona di kampus. Merona nggak mau terkesan manja karena memang sudah lupa rasanya bermanja-manja sama Papa. Merona mau membuktikan ke Papa kalau Merona bisa mandiri. Dengan adanya kehadiran Papa atau nggak sekali pun."

Aku menahan semua kata-kata yang terbesit ketika Papa menyuruh tidur. Aku enggan mengeluarkan sepatah kata apa pun. Namun setiap setengah jam sekali, Papa keluar dari kamar dan mengarah ke ruang tamu, Papa mengulang kata-kata yang sama.

"Mer, tidur. Sudah malam."

Lama-lama aku bosan mendengarnya. Tepat jam 23.00 aku memutuskan untuk mematikan laptop dan masuk ke dalam kamar, padahal layout majalah belum rampung.

Sekarang aku tidak bisa tidur dan malah menulis diary.

Dulu Papa pernah bilang, "Merona anak bungsunya Papa yang menggemaskan, Papa mau tahu cerita apa saja yang kamu lakukan di sekolah dan di rumah. Apa yang kamu rasakan setiap harinya? Senangkah? Sedihkah? Apa yang kamu lakukan bersama teman-teman sekolahmu? Bermain apa saja? Belajar apa saja? Tapi kan Papa kerja. Papa nggak bisa ada untuk Merona selama 24 jam. Kadang kalau Papa pulang kerja, Merona sudah tidur di kamar.

Kali ini Papa memberikan Merona sebuah buku diary. Hadiah ulang tahun untuk Merona yang sekarang sudah delapan tahun. Suatu saat nanti, Merona akan tumbuh menjadi wanita dewasa. Merona bukan anak kecil lagi. Tapi Merona tidak perlu khawatir, sebab selamanya Merona akan menjadi gadis kecilnya Papa dan Papa akan selalu jadi jagoannya Merona. Selamanya.

Merona bisa tulis semua yang kamu lakukan setiap hari di buku diary. Anggap saja setiap lembar yang kamu tulis itu adalah surat untuk Papa. Kalau kamu mau tidur, kamu bisa taruh buku diary-nya di samping bantal, nanti Papa pulang kerja akan Papa baca.

Kalau lembarannya sudah habis, bilang sama Papa ya. Nanti Papa belikan buku diary yang baru untuk Merona.

Selamat ulang tahun yang ke delapan tahun yaa, Sayang. Semoga kamu tumbuh menjadi anak baik dan cerdas, selalu bisa berbagi kebaikan untuk siapa pun, bermanfaat untuk siapa pun, selalu ceria, selalu menyenangkan, selalu bahagia. Harapan Papa kamu bisa terus berwarna dan memberikan kehangatan untuk siapa pun, seperti warna langit saat senja, merona oranye. Papa sayang Merona."

Pa, apa yang harus aku lakukan untuk menghilangkan kebencian pada Papa yang sudah begitu mengeras dalam hatiku? Maaf kalau ternyata Papa tidak bisa baca semua tulisanku di buku diary. Aku tidak lagi menginginkan Papa membaca semua tulisanku. Ada kebencian dan kekecewaan untuk Papa. Ada semua kekacauan perasaan tentang keluarga dan rumah kita. Ada banyak sekali tumpahan perasaanku yang babak belur. Aku tidak lagi bisa membagi apa pun itu ke Papa.

Aku sayang Papa, tapi juga begitu membenci Papa saat ini.

***

Merona OranyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang