8 . Bergejolak

845 66 4
                                    

Sudah tiga hari berlalu sejak event Creative Art and Food selesai. Pikiran Rara sering melayang-layang. Degup jantungnya pun mulai sering menjadi tidak karuan setiap kali sosok Mas Fajar melintas dalam lamunan. Bahkan kemarin malam Mas Fajar hadir di dalam mimpinya. Lokasi samar-samar. Di suatu ruangan yang sangat luas, terdapat banyak sekali tempat duduk seperti ruang tunggu. Di salah satu kursi yang tersedia, Rara duduk bersebelahan dengan Mas Fajar. Mereka berbincang sambil makan sesuatu. Mereka tertawa. Hanya itu yang Rara ingat tentang mimpinya.

Rara menepis perasaan yang muncul pada Mas Fajar. Mungkin ia salah. Rara meyakinkan diri bahwa apa yang ia rasakan hanya sisa-sisa euforia event saja. Ia tidak ingin jatuh cinta pada laki-laki itu. Trauma pada laki-laki masih bernaung dalam diri Rara. Ia tidak akan membiarkan hatinya jatuh ke tangan laki-laki yang tidak tepat. Meski sejujurnya, Rara pun tidak dapat memastikan kategori laki-laki mana yang tepat. Satu yang Rara tahu, sudah lama ia tidak merasakan hal ini.

Rara meyakinkan dirinya sendiri, ia tidak boleh jatuh cinta pada Mas Fajar. Apa pun alasannya.

Drrrt... Drrrtt...

Handphone Rara bergetar, ada WhatsApp masuk dari Mas Fajar. Spontan ia mendengus. 'Orang ini kenapa nge-chat di saat gue lagi mikirin dia?' gerutu Rara pelan.

Mas Fajar: Assalamu'alaikum, Mbak Rara. Weekend ini ada acara? Kita bisa meet up? Ada yang ingin saya bicarakan terkait project desain dan ilustrasi untuk cafe saya. Ditunggu kabarnya ya, Mbak Rara.

'Ah sial. Gue lupa masih ada project cafe! Astaga! Gue pikir hubungan gue sama dia udah selesai setelah event kemarin. Ra, ini nggak sehat. Perasaan ini mau lo apain?'

Rara belum membalas WhatsApp dari Mas Fajar. Rasanya ingin ia abaikan saja, tetapi ia mengurungkan niat. Rara merasa jahat kalau melakukan hal itu. Pertama, Rara menolak rezeki. Kedua, Rara memutuskan hubungan silahturahmi.

'Ra, kan lo sendiri yang bilang kalau semua laki-laki nggak ada yang bisa dipercaya. Semuanya sama saja. Maka mengendalikan perasaan lo yang masih seumur jagung ke Mas Fajar adalah perkara mudah. Mau sebesar apa pun perasaan lo ke dia, lo nggak akan memercayakan hati lo ke dia kan? Dia laki-laki, Ra. Makhluk yang sama sekali nggak bisa dipercaya, apalagi soal cinta. Anggap dia hanya sebagai rekan kerja seperti klien-klien lo sebelumnya, ok? Ini perkara mudah, jangan lo buat rumit sendiri.'

Rara: Weekend ini kosong di hari Sabtu, Mas. Soalnya hari Minggu sudah ada janji. Meet up Sabtu siang, bagaimana?

Mas Fajar: Oke, siap. Di toko Mbak Rara saja, ya?

Kedua mata Rara terbelalak. Kalau mereka meet up di toko, berarti mereka akan memiliki lebih banyak waktu untuk berbincang, entah benar terkait tentang project atau apa pun yang bisa menjadi topik percakapan di antara mereka. Apalagi janji bertemu dari siang dan toko baru akan tutup jam sembilan malam. Walau tidak ada jaminan Mas Fajar akan berada di sana sampai toko tutup, namun ada peluang hal itu dapat terjadi.

Sebab waktu mengalir sangat cepat saat kali pertama Mas Fajar berkunjung ke toko. Mereka berdua sangat menikmati percakapan sampai lupa waktu. Rara tidak ingin hal itu terjadi lagi, terlebih kalau kondisi perasaannya sudah sedikit berubah seperti saat ini.

Rara mencari alasan lain. Sesuatu yang masuk akal, tidak terlihat seperti alasan yang memang sengaja dibuat-buat.

Rara: Aduh, maaf banget, Mas. Kita meet up di Cafe Menteng aja, boleh? Soalnya saya ada urusan di daerah Menteng juga, biar sekalian jalan hehe

Kadang Rara percaya, penambahan kata hehe bukan hanya menunjukkan ekspresi tertawa, tetapi berfungsi juga untuk menghaluskan sebuah kalimat penolakan.

Merona OranyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang