Rara dan Qiya mempercepat laju langkah kaki mereka. Salju turun lagi siang ini. Setiap hari Sabtu, jadwal membuat ilustrasi kolaborasi hanya sampai jam satu siang. Di tengah perjalanan pulang kembali ke Apato, Rara melihat sosok seseorang yang sepertinya ia kenal.
"Qiy, itu bukannya Ben ya?" Jari telunjuk tangan kanan Rara mengarah pada seorang laki-laki, memakai duffle coat berwarna hijau army dan topi kupluk rajut, yang sedang membantu dua anak kecil menyeberang jalan. Kedua anak kecil itu berusia kisaran enam atau tujuh tahun.
"Betul, Ra. Ben itu misterius yah. Dari dua puluh peserta kan hanya kita bertiga yang berasal dari Indonesia, tapi sekali pun aku tidak pernah mengobrol dengan Ben."
"Padahal kita tinggal di satu Apato yang sama," timpal Rara.
Selama proses persiapan sampai event Gallery Art Batch 2 selesai diselenggarakan, para peserta memang mendapat fasilitas sebuah Apato untuk tempat tinggal. Bertujuan agar mereka bisa tetap fokus membuat karya individu dan untuk mempermudah komunikasi antar peserta. Namun karena dua puluh peserta terpilih memiliki beragam karakter dan berasal dari kultur negara berbeda, sehingga masing-masing peserta harus melakukan ekstra adaptasi agar selaras satu tujuan visi dan misi untuk keberhasilan acara. Ben menjadi contoh satu-satunya peserta laki-laki dari Indonesia yang memiliki karakter paling menonjol di antara peserta lain, dingin dan pendiam.
"Aku sering melihat Ben sibuk dengan laptopnya di meja kecil samping akuarium, Ra."
"Ah, iya! Akuarium di dekat pintu dapur ya, Qiy?"
"Iya." Tiba-tiba Qiya menepuk-nepuk pelan punggung Rara sambil berseru histeris, "Ra! Ben senyum! Ben senyum ke anak-anak kecil itu, Ra!"
"Qiy, kenapa heboh sekali? Iyaa aku lihat juga hahaha."
"Ini untuk pertama kalinya aku lihat Ben senyum, Ra! Biasanya kan raut wajah Ben tanpa ekspresi. Datar. Dingin."
"Iyaa, Qiy. Dingin seperti salju hari ini," Rara sedikit menggigil. "Yuuuk, langsung ke Apato!" Rara merapatkan ritsleting pada oversized parka hoodie yang ia pakai kemudian menggandeng lengan kiri Qiya, ingin segera tiba di Apato. Rara butuh kehangatan, meski ia suka udara dingin apalagi embusan angin saat hujan, tetapi merasakan salju pertama dalam hidupnya kali ini membuatnya hampir beku.
**
"Dan kawan
Bawaku tersesat ke entah berantah
Tersaru antara nikmat atau lara
Berpeganglah erat, bersiap terhempas
Ke tanda tanya"
(Banda Neira - Ke Entah Berantah)Sebuah handphone di atas meja akuarium berbunyi, tanda telepon masuk. Laki-laki di samping meja akuarium hanya memperhatikan handphone itu, ia mengenali dering lagunya, tetapi ia tidak mengetahui siapa si pemilik handphone. Penasaran, namun ia memilih bersikap tidak acuh sampai kemudian dering lagu dari handphone itu berhenti.
"Dia bagai suara hangat senja
Senandung tanpa kata
Dia mengaburkan gelap rindu
Siapa kuasa"
(Banda Neira - Ke Entah Berantah)Handphone itu kembali berdering dan tiba-tiba ada seseorang yang mengambilnya, terburu-buru mengangkat telepon yang masuk.
"Ocaaa!! Gue kangen banget sama elooooo!"
Rara mengangkat telepon dari Oca. Sedari tadi ia mendengar suara dering telepon yang sangat ia kenali, tapi ia lupa di mana meletakkannya. Sekitar lima belas menit yang lalu, saat Rara begitu terkesima melihat ikan-ikan yang berenang di dalam akuarium, tiba-tiba ia sakit perut. Ia bergegas menuju toilet sampai lupa telah meninggalkan handphone di pinggir meja akuarium.
Setengah jam berlalu, Rara menutup telepon sebab Oca terburu-buru mengangkat panci dari atas kompor. Kebiasaan buruk yang tidak pernah bisa berubah, Oca selalu lupa setiap kali sedang memasak air dan selalu saja membuat air di dalam panci hampir menghangus.

KAMU SEDANG MEMBACA
Merona Oranye
Fiksi Umum"Sampai pada akhirnya yang tetap adalah yang tepat." Jangan sengaja berjalan untuk mencari. Terus saja melangkah. Dalam perjalanan, kamu akan menemukan. Ah, sesungguhnya dipertemukan, oleh semesta. Selamat menemukan! ❤ __________ Cover Design : sace...