28 . Merindu

1.3K 87 1
                                    

Agustus 2017.

Kursi rodanya di bawah jendela.
Di salah satu sudut kamar.
Sendiri.
Tidak ada lagi yang menemaninya
melihat matahari pagi.

Rumah kosong ternyata bukan tanpa furnitur.
Kosong karena ada yang hilang.
Sepenuh apa pun diisi banyak barang,
kosong karena ada yang pergi.

Hari ini tepat setahun Papa berpulang.

Aku merindukan masa kecilku. Masa ketika aku masih menjadi gadis kecilnya Papa. Masa-masa yang aku tahu hanya belajar dan bermain.

Aku merindukan masa kecil bersama Papa. Saat Papa masih sehat dan baik-baik saja. Papa kebanggaan dan kesayangannya aku.

Sewaktu kecil, aku lebih banyak momen bersama Papa, karena memang lebih dekat dengan Papa. Rindu dibonceng naik sepeda berkeliling perumahan bersama Papa. Rindu diajak memancing ikan.

Rindu menanam pepohonan di halaman samping rumah. Rindu melihat Papa bangga dengan peringkatku di sekolah. Rindu bermain di lapangan perumahan bersama Papa. Rindu dibuatkan rumah-rumahan untuk boneka Barbie-ku. Rindu aku dijemput Papa sepulang bermain dengan teman.

Rindu menunggu Papa pulang kerja. Rindu dibelikan mainan dan banyak sekali buku cerita.

Rindu ditemani tidur siang. Rindu mendengar Papa bernyanyi dan karaoke di dalam rumah. Rindu melihat Papa membuat kolam ikan. Rindu ikut Papa membeli ikan dan makanan ikan ke pasar dan swayalan. Rindu diajak Papa bertamu ke rumah tetangga.

Rindu ikut Papa berangkat ke kantor. Rindu dibanggakan Papa sebagai gadis kecilnya kepada teman-teman kantornya. Rindu Papa menawarkan mau mainan atau buku mewarnai yang dijual pedagang di dalam kereta ekonomi. Rindu dipeluk dan dilindungi Papa di antara para penumpang kereta yang berdesak-desakan.

Rindu menemani Papa terapi.

Rindu melihat Papa duduk di teras menungguku pulang kuliah. Rindu melihat Papa duduk di ruang tengah, menonton acara televisi. Rindu melihat Papa duduk dan makan di meja makan. Rindu mendengar suara Papa memanggil namaku.

Rindu melihat piring dan gelas Papa di atas meja makan. Rindu saat Papa bilang, "Mau peluk Merona" setelah Papa pulang dari rumah sakit. Banyak rindunya untuk Papa. Rindu yang sama sekali tidak bisa digantikan dengan apa pun.

Aku tidak lagi meminta Papa kembali. Tidak lagi berdoa kepada Tuhan menghadirkan Papa lagi. Sebab masanya Papa di sini memang sudah selesai.

Maaf, Pa. Aku masih saja menangisi Papa. Aku hanya tidak tahu bagaimana cara meredam rindu untuk Papa. Aku hanya tidak tahu bagaimana cara menahan rindu yang sudah melebam. Merindukan Papa yang tak sudah-sudah. Rasanya terlalu sebentar memiliki Papa.

Satu hal yang sangat aku syukuri, Tuhan memberikan kesempatan satu setengah bulan kita bisa sama-sama lagi. Bukan hanya satu atau dua hari, melainkan satu setengah bulan, empat puluh tujuh hari.

Kalau dibandingkan dengan kurang lebih delapan tahun hubungan kita berjarak, waktu satu setengah bulan kemarin memang sedikit. Sebentar sekali. Tetapi kalau memang menurut Tuhan itu cukup, maka cukup. Tidak kurang tidak lebih.

Kebencianku pada Papa hilang. Aku hanya perlu menjaga dan merawat Papa semaksimal mungkin yang bisa aku lakukan.

Aku sangat menyesal sebab membiarkan ada kebencian menggerogoti hati nurani dan akal sehatku sehingga menyebabkan banyak waktu terbuang sia-sia selama bertahun-tahun. Tetapi rencana Tuhan selalu baik. Ada hikmah dan pelajaran yang bisa diambil dari setiap kejadian buruk sekalipun. Aku hanya perlu terus bersyukur kan?

Untuk Papa yang sudah tenang berada di sisi Tuhan, gadis kecilmu si bungsu ini masih saja dan selalu merindukanmu.

Papa lagi apa, Pa? Aku rindu.
Aku hanya ingin menyampaikan ini.

Aku rindu.

***

Merona OranyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang