Juli 2016, di ruang tunggu rumah sakit.
Papa kritis. Lima hari lalu, kami memutuskan kembali membawa Papa ke rumah sakit. Tubuhnya semakin kurus. Salah satu sisi mata Papa hampir tertutup dan bola matanya tidak dapat fokus. Dokter bilang Papa mengalami horner syndrome. Suhu tubuh Papa turun - naik tidak stabil sejak tiga hari sebelum Papa harus kembali diopname. Papa mulai tidak merespons saat diajak bicara. Napasnya juga semakin sulit, seperti sesak di dalam dada. Di rumah sakit, Papa mendapat alat bantu pernapasan.
Ini adalah hari pertama Papa koma. Papa mengalami gangguan fungsi hati. Papa hilang kesadaran. Penyakit Papa jadi komplikasi. Tadi sore, HB Papa turun ke angka 6,8. Dokter menyarankan agar Papa mendapatkan transfusi darah. Namun golongan darah Papa termasuk salah satu golongan darah yang langka ada di Indonesia, A rhesus negatif, dan stok di rumah sakit habis.
Saat ini aku sedang menunggu temanku yang bergolongan darah A dan bersedia mendonorkan darahnya, tetapi ia harus melakukan pemeriksaan rhesus terlebih dahulu. Aku berharap banyak padanya. Semoga kedatangan temanku bisa membawa kebaikan untuk kondisi Papa.
***
"Ternyata ada banyak 'siapa sangka' tentang hal-hal yang tidak pernah kita pikirkan bahkan tidak pernah kita bayangkan akan terjadi.
Tapi terjadi.
Semesta begitu banyak memberikan kejutan dan hadiah. Sesuatu yang tidak pernah kita minta, didoakan saja tidak pernah.
Lantas setelah dipikir-pikir lagi, ada banyak 'siapa sangka akan seperti ini' dan 'siapa sangka akan seperti itu'.
Hidup adalah perjalanan.
Lucunya, banyak hal yang kita minta hampir seperti memaksa. Kita doakan setiap waktu. Bahkan mungkin sudah kita usahakan, tapi justru tidak terwujud. Tuhan memberikan apa yang kita butuhkan, yang terbaik, bukan yang kita inginkan.
Kalau kamu tidak percaya takdir semesta, kamu mau percaya apa lagi?"
Rara menata piring dan gelas di atas tikar. Karena rumput di halaman depan rumah baru saja dipangkas kemarin sore, ia menemukan ide untuk piknik di halaman depan rumahnya saja. Hal ini sederhana, tetapi mampu membuat Rara merasa begitu bahagia. Angin berembus dengan menggoda dan menyejukkan. Rara berdoa semoga tidak turun hujan dengan tiba-tiba. Setidaknya sampai acara piknik sederhana ini selesai.
Gema kecil berlari menghampiri Rara yang masih sibuk menyusun perlengkapan makan di atas tikar. Langkah kecil kaki Gema kecil membuat anak laki-laki berusia lima tahun itu tampak begitu menggemaskan.
"Bundaaa... Aku mau bantu Bunda aja aaah.."
"Ayah mau mulai bakar sate ayamnya yah?"
"Iyaaa. Kata Ayah, aku ke Bunda aja. Asap bakaran satenya nggak baik buat aku kata Ayah."
"Sini, bantu Bunda yuk! Tissuenya tolong taruh di samping stoples bawang goreng ya, Nak."
Gema kecil mengangguk dan dengan sigap meletakkan tissue tepat di samping stoples berisi bawang goreng. Rara tersenyum melihat Gema kecil, kemudian ia mengusap lembut kepala anak laki-laki itu.
"Anak ini bertumbuh cepat sekali," ucap Rara dalam hati.
Gema kecil lahir lima tahun yang lalu. Selang setahun setelah pernikahan Rara dengan Ben. Di samping Rumah Holahoho, keluarga kecil ini memulai hidup baru. Menyusun harapan-harapan baru. Menjadikan setiap waktu kebersamaan yang mereka miliki menjadi sesuatu yang berharga. Rara dan Ben bertekad ingin memiliki keluarga yang harmonis dan penuh kehangatan. Mereka mengupayakan agar seluruh impian dapat tercipta dengan baik.
"Wuzzzz... Wuzzzzzzz... Pesawat sate ayam udah mau mendarat. Hati-hatii.... Pasukan sate ayamnya kepanasaaaannnn..." Ben menggerakkan piring berisi sate ayam seolah-olah menjadi pesawat terbang ke arah Gema kecil.
"Siniiii, Ayah... Sini... Pesawatnya mendarat di siniii..." Gema kecil menggeser posisi duduknya dan memberikan tempat untuk piring sate ayam yang dibawa Ayahnya.
"Aku kalau udah besar nanti mau jadi pilot aaaah..." Gema kecil teriak antusias.
Ben meletakkan piring berisi sate ayam di atas tikar dan tersenyum ke arah Gema kecil. "Kenapa mau jadi pilot, Nak?"
"Biar aku bisa terbang keliling Indonesia. Nanti aku ajak Ayah sama Bunda naik pesawat akuuu..." Gema kecil menjawab dengan mantap, kemudian ia berdiri dan berlari-lari kecil di atas rumput, mengelilingi tikar sambil membentangkan kedua tangan menirukan bentuk sayap pesawat. "Wuuuzzzzz...."
Rara dan Ben tertawa melihat tingkah menggemaskan Gema kecil.
"Kalau kamu mulai berani menanam biji, maka bertanggung jawablah dengan mengusahakannya bertumbuh dengan baik. Hasil akhir apakah ia bertumbuh dengan baik atau nggak adalah takdir semesta. Memaksimalkan proses pertumbuhan yang terpenting. Silakan menyatu dengan bibit dan tanah. Silakan menjadi sebaik-baiknya air dan cahaya matahari."
Ben mengalihkan pandangan ke Rara dan menatap istrinya dengan penuh kehangatan. Rara tersenyum, kemudian mengangguk tanda setuju dengan perkataan Ben.
"Seorang Ibu mengandung anaknya selama 9 bulan, kemudian melahirkannya dengan segala rasa sakit dan perjuangan. Tentunya seorang Ibu menyimpan banyak sekali harapan untuk kebaikan-kebaikan anaknya. Lantas, apakah si anak rela hidup dengan sia-sia? Tanpa nilai. Tanpa manfaat. Tanpa mimpi?
Kelak suatu saat para perempuan yang menjadi seorang Ibu akan memahami tentang ketulusan cinta dan harapan kepada anak-anaknya," ucap Rara dalam hati.
Seketika Rara terdiam. Ia teringat sesuatu, moment masa kecil bersama Papa, persis seperti yang barusan terjadi antara Ben dan Gema kecil.
**
Belasan tahun yang lalu, naik sepeda dibonceng Papa berkeliling perumahan.
"Merona, cita-citanya mau jadi apa?"
"Mau jadi guru, Pa."
"Kenapa mau jadi guru?"
"Merona mau kasih PR yang banyak buat murid-murid Merona nanti."
Papa dan Merona kecil tertawa berdua di atas sepeda yang dikayuh oleh Papa.
**
"Ben menanyakan kenapa Gema ingin menjadi pilot. Persis seperti Papa menanyakan kenapa aku mau jadi guru, dulu. Papa dan Ben nggak serta-merta menolak keinginan aku dan Gema kecil, lalu menyuruh aku dan Gema kecil menjadi seperti yang Papa dan Ben inginkan.
Bukankah memang seharusnya seperti itu? Saat seorang anak menyampaikan pendapatnya, orangtua harus memberikan waktu pada si anak untuk mengatakan alasan kenapa ia mau melakukan sesuatu atau ingin menjadi sesuatu."
Rara tersenyum, merasa begitu bahagia.
"Ben," panggil Rara.
"Iya?" sahut Ben sambil memangku Gema kecil, memeluk anak laki-laki menggemaskan itu dengan erat. Gema kecil tertawa di balik dekapan Ayahnya.
"Aku sayang kamu dan Gema."
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Merona Oranye
Ficção Geral"Sampai pada akhirnya yang tetap adalah yang tepat." Jangan sengaja berjalan untuk mencari. Terus saja melangkah. Dalam perjalanan, kamu akan menemukan. Ah, sesungguhnya dipertemukan, oleh semesta. Selamat menemukan! ❤ __________ Cover Design : sace...