26 . Perjanjian

789 77 0
                                        

Juli 2016.

Tahun ini adalah lebaran pertama Papa duduk di kursi roda. Serangan stroke kemarin membuat Papa lumpuh. Semenjak Papa pulang dari rumah sakit kemarin, tubuh Papa menjadi lebih kurus, lagi. Kakak pertamaku bilang karena pengaruh infus. Padahal makan Papa melalui selang NGT sudah teratur.

Selama di rumah, Papa banyak bermain dengan cucu-cucunya, anak-anak dari kedua kakakku, keponakan-keponakanku yang kadar lucunya berlebihan. Mereka sangat menggemaskan.

Kemarin malam, sambil mendengarkan suara takbiran dari Masjid dekat rumah, aku dan Papa menikmati waktu berdua di teras. Papa duduk di kursi roda dan aku duduk di pilar. Hanya sebentar.

"Papa mau pulang ke Jakarta, mau ke Saung."

"Saung mana, Pa? Kenapa mau pulang ke Jakarta? "

"Papa mau ke Jatibunder. Ada kakak di sana."

"Kakak siapa, Pa?"

"Ikhsan."

Seketika kedua kakiku lemas. Om Ikhsan sudah lama meninggal, lima tahun yang lalu. Bagaimana bisa Papa ingin bertemu Om Ikhsan? Bagaimana bisa Papa ingin pulang ke Jakarta? Om Ikhsan memang dimakamkan di Jakarta, apakah ini pertanda? Aku tidak mau memikirkan kemungkinan terburuk dari perkataan Papa. Setelah mendengar ucapan Papa, aku mengajaknya masuk ke dalam rumah, beralasan Papa belum makan malam dan minum obat.

Ada sesuatu. Entah. Aku takut meyakinkan firasatku.

Takut.

***

"Mer, lo serius?"

"Serius, Ca."

"Kenapa bisa merasa seyakin itu sama si... Hmmm, siapa namanya? Ben?"

"Entah. Merasa tepat. Kayak merasa akan sangat menyesal dan bersalah kalau sampai harus kehilangan Ben."

"Kalian kenal belum ada setahun, Mer."

"Yaaa memang. Tapi selama delapan bulan mengenal Ben, gue merasa hubungan kita nggak sekadar basa-basi, ketawa haha-hihi, formalitas berteman. Rasanya tuh berkualitas dan bermakna. Setiap kali ketemu dan ngobrol sama Ben, gue merasa bertumbuh."

"Jodoh memang rahasia Tuhan sih, Mer. Cuma yaaa gue shocked aja, shocked banget malah! Gue udah kenal lo lama bangettttt kan? Gue tahu tentang trauma lo sama laki-laki. Gue tahu drama kakak-adik lo sama Kemal. Gue tahu drama lo dan Dimas. Gue tahu drama lo dan si Mas Fajar yang serius banget sama lo tapi malah lo tolak. Bahkan gue udah berkali-kali ngejodohin lo sama teman-teman gue, yang menurut gue baik, yang menurut gue bisa menerima keadaan lo, yang menurut gue bisa membuat lo bahagia. Udah nggak bisa gue hitung lagi berapa orang yang gue promosiin ke elo deh. Tapi malah si Ben yang bisa membuat lo luluh dan yakin banget dia jodoh lo ya? Bahkan lo belum kenalin Ben ke gue loh, Mer!"

"Lo kan baru pulang dari Sumatera, Ca! Demi lo nih, gue bela-belain ke bandara. Khusus jemput seorang Oca yang sangat gue kangenin!"

"Ugh, so sweet!"

Rara menjulurkan lidah.

"Btw, Mer! Lo ke pernikahannya Mas Fajar ditemani sama si Ben dong?"

"Eh? Pernikahan? Mas Fajar?"

"Dia nggak kasih undangannya ke elo?"

"Nggak. Kapan? Mas Fajar nikah sama siapa? Lo kenal?"

"Minggu besok, Mer. Ya ampun. Kemarin dia kirim undangannya via WhatsApp sih, soalnya gue masih di Sumatera. Hmm, calonnya sih gue nggak kenal. Katanya teman kuliah di Italia dulu, orang Indonesia juga. Secepat itu yaa berpaling dari elo. Padahal bulan Maret lalu kelihatannya serius banget sampai jenguk elo ke Jepang loh, Mer."

"Berarti dia menepati janjinya, Ca." sahut Rara. Ia memutar kepala ke arah jendela mobil. Perjalanan dari bandara menuju rumah Oca belum ada setengah jalan. Rara memandang keluar jendela, melihat jalanan yang dipenuhi kendaraan pribadi. "Mas Fajar menepati janjinya," ucap Rara dalam hati.

"Janji?" Oca yang duduk di sebelah Rara bingung sendirian. "Janji apa, Mer?"

**

"Kalau saya meminta Mbak Rara hadir di acara Grand Opening cafe akhir bulan nanti, sepertinya hari ini saya akan mendapat dua penolakan sekaligus ya?" Mas Fajar tersenyum, tetapi ada sedikit kekecewaan yang terlihat dari aura wajahnya. Rara menangkapnya dengan jelas.

"Hmm, awal bulan April besok event Gallery Art ini opening, Mas. Waktunya berbarengan dan nggak mungkin saya kembali ke Indonesia di saat saya harus mempersiapkan acara saya juga di sini. Maaf ya, Mas Fajar."

"Saya paham kok," Mas Fajar mengangguk pelan.

"Mas Fajar.. Hmm, mau janji satu hal sama saya?"

"Iya? Janji tentang apa, Mbak?"

"Janji untuk segera menemukan seseorang yang bisa membuat Mas Fajar bahagia setelah kembali ke Indonesia. Kalau saya boleh jujur, Mas Fajar adalah sosok laki-laki yang sangat baik dan hebat. Kenapa harus segera menemukan? Supaya ada yang menemani Mas Fajar berjuang untuk mewujudkan semua mimpi yang ingin Mas Fajar raih. Supaya kekuatannya nggak hanya berat sebelah, supaya ada yang menggenapkan langkah Mas Fajar mengejar mimpi. Sebab saya yakin setelah mengetahui perjuangan Mas Fajar membangun bisnis food and beverages itu, langkah Mas Fajar akan semakin kokoh dan kuat kalau ada yang menemani dan memberi dukungan. Katanya, setelah menikah, rezeki kita akan mengalir di luar dugaan, Mas."

"Mbak Rara mengamati saya sampai sedalam itu?"

"Saya pengamat yang baik hehe. Bagaimana? Mau berjanji sama saya?"

Mas Fajar terdiam, memerhatikan Rara yang masih merebahkan badan di balik selimut rumah sakit. Kemudian Mas Fajar mengangguk.

"Janji."

Rara tersenyum.

"Terima kasih sudah menyadarkan saya bahwa ternyata saya bisa kembali merasakan dada berdegup dan begitu bergemuruh berada di dekat laki-laki yang membuat saya merasa nyaman. Mas Fajar adalah orang pertama yang kembali menghadirkan perasaan itu setelah sekian tahun saya mati rasa, tapi perasaan yang kemarin hanya angin lalu. Tanpa saya paksa berhenti lagi, perasaan itu memudar dengan sendirinya," ujar Rara dalam hati.

***

Merona OranyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang