02. 🌓Putra Mahkota Tante Diana

1.6K 118 12
                                    

"AAAAkh! DASAR SEPATU SIALAN, TIDAK BERGUNA! KENAPA PAKAI PATAH SIIH..ADUH KAKIKU!"

Aku tersentak merasakan punggungku terhempas tubuh seorang wanita paruh baya yang terpeleset gara-gara sepatu hak tingginya patah persis di belakangku. Barang belanjaannya bertaburan menimpa kepalaku. Sakit..tapi aku harus menolong tante-tante ini. Kasiaan, pasti kakinya sakit, atau hatinya lebih sakit gegara malu sepatu cantiknya patah di tempat umum.

"Tante ndak kenapa-napa?" tanyaku berbasa-basi sambil membantunya berdiri dan mendudukkannya di kursi nongkrong yang ada di depan alfa mart.

"Hadddu du du...sakit kali bah!" ringisnya sambil mengurut pergelangan kakinya yang bengkak. Hah? Logatnya sama dengan logat kampung mamaku, Medan. Berarti nih Tante orang daerah sama sepertiku. Bertemu orang sedaerah di Jakarta itu sesuatu banget, serasa ada di kampung, mengurangi kadar rindu akan kampung halaman walau cuma beberapa persen. Ku punguti belanjaannya yang berserakan dan memasukkannya kembali ke kantong plastik dan menyerahkannya ke tante sekampung yang masih meringis menahan sakit.

"Terima kasih, Dek..tante minta maaf ya, pasti badanmu sakit tertimpa tubuh tante dan belanjaan."

Aku mengangguk kecil. Ku lihat sepatu penyebab malapetaka itu. Cantik, bling-bling..tapi hak nya itu lo..sepuluh senti, sungguh tak cocok dipakai tante-tante dengan badan cukup gemuk dan sudah berumur sepertinya. Heh! Apa hakku menilai penampilan orang. Penampilanku sendiri tak kalah hancurnya. Celana bahan yang sudah pudar dan blus lengan pendek yang tak kalah suram warnanya.

"Tante bisa berdiri? Biar ku antar ke kendaraan Tante.." aku mencoba membantunya. Orang sekampung mah persaudaraan harus lebih dekat.

"Adek serius? Kalau gitu tolong antar Tante pulang ya..Suami Tante sedang keluar kota. Tante gak bisa nyetir mobil, jadi naik motor kesini. Tapi kaki Tante sakit banget,. Kamu bisa bawa motor kan?" cerocosnya panjang lebar. Duh ceriwisnya...aku jadi ingat mama.

" Bisa Tante, tapi kecepatannya dibawah rata-rata ya..maklum dak biasa naik motor di Jakarta."

Wajah sang tante dihiasi senyum senang.

"Justeru Tante senang kamu nyopir motornya pelan, tante malah kecepatan 30 km perjam. Hehee..yok ke parkiran. Nih kuncinya." Aku mengambil kunci dan membawa belanjaan sang tante, tak lupa sepatu mengenaskan tadi kumasukkan ke dalam tas kresek berlogo itu. Sementara tanganku satu lagi menyanggah tubuh sang tante yang masih kesakitan di kakinya.

"Pelan-pelan, Tan.." aku membantunya naik ke motor. Kaki putih mulusnya bertelanjang tanpa alas kaki. Beberapa orang di parkiran memperhatikan, tapi tak ada yang niat membantu.

"Pegangan Tante..oh ya..rumah Tante dimana?" Aku melajukan motor ke alamat yang ditunjukkan sang tante. Ternyata rumahnya tak begitu jauh dari alfa mart. Sepuluh menit berkendara dengan kecepatan bak siput hamil motor memasuki sebuah gerbang rumah. Rumah dua lantai yang berdesain minimalis. Motor kuhentikan di parkiran.

"Ayo masuk dulu..kamu pasti haus deh, Jakarta panas."

Pintu rumah dibuka. Mataku dimanjakan dengan desain rumah modern yang berperabot serba mahal. Ternyata tante ini orang kaya. Tapi rumahnya sepi. Kesan hampa kurasakan sangat kentara.

"Ayo duduk, minumannya ada di kulkas sebelahmu, pilih aja yang mana suka sampai hausnya hilang..Tante gak bisa ngambilin, masih pegal nih kaki."

Mataku mengarah ke kulkas kecil di pojok ruang tamu. Ruang tamunya aja ada kulkas khsusus. Orang kaya mah bebas.

"Makasi Tan.." ku ambil dua kotak juz berbeda rasa. Ah, rasanya sudah lama aku tak minum minuman kotakan ini.

"Kamu Mahasiswa?" tebak tante kenalan baruku. Aku mengangguk.

After The DarkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang