18. 🌅Saling Menemukan

1.1K 71 1
                                    

Ketika aku membuka mata yang terlihat adalah dinding kayu mengkilat berwarna cokelat tua yang kukenali sebagai dinding villa. Suara nafas lega terdengar dari sampingku. Aku duduk dengan segera mengabaikan rasa pusing yang masih berputar di kepalaku. Duh, apa sih sebenarnya yang terjadi?

"Akhirnya, kamu sadar juga,Ros." suara bass keluar dari bibir sosok di sampingku. Dia menyodorkan segelas teh hangat. Membantu meminumkannya ke bibirku. Aku menggeleng sembari menjauhkan kepala.

"Gak usah repot-repot, Pak. Saya bisa sendiri," elakku. Dia menatapku dengan lembut.

"Tak seberapa jika dibandingkan kamu merawatku dengan penuh perhatin selama dua bulan," bibirnya tersenyum. Aku membelalak. Kok dia tahu? Apakah dia beneran Ibas? Aku mulai ragu.

"Kamu minumlah dulu. Kata dokter kamu kecapean, kurang makan, dan kurang istirahat."

Dengan canggung ku teguk teh hangat yang disodorkan padaku. Aku memandang sekeliling.

"Ini kamar siapa?" Ku pandangi lagi sekeliling ruangan. Kamarnya luas, hamparan laut terpampang di kacanya yang juga lebar. Di kejauhan aku melihat burung camar terbang merendah di air laut. Oh, sudah pagi? Berapa lama aku pingsan?

"Ini kamarku. Tadi malam aku panik ketika kamu pingsan. Tanpa pikir panjang aku ajak kamu ke kamar ini karena aku tak tahu kamarmu yang mana." terang Ibas. Ibas? Dia beneran Ibas? Kupandangi lagi wajahnya yang memancarkan sinar lembut. Mata tajam itu juga menatapku sarat kerinduan.

"Ros, Mama rindu kamu." lanjutnya. Aku kaget. Mama? Oya, kalau dia mengatakan mamanya tante Diana maka benarlah sosok gagah di depanku ini adalah Ibas, tapi kok bisa?

"Siapa nama Mama Bapak?" tanyaku menguji.

"Diana, seseorang memanggilnya Tante Diana," dia menatapku sambil tersenyum. Jantungku berdetak cepat. Dia Ibas ku.

"Mama mau bertemu kamu. Mama bahkan menyuruhku mencarimu kemana saja, cepat atau lambat aku harus menemukanmu,"

Aku menatap Ibas dengan yakin. Yah, aku yakin pria gagah yang ku kagumi sejak pertama kali bertemu adalah Ibas.

"Apa kabar Tante?" tanyaku ragu.

"Mama suka sakit-sakitan, kepikiran kamu mungkin." sesungging senyum merekah di bibirnya yang merah agak gelap.

"Masa? Kan ada putra mahkotanya yang sudah sembuh," lagi-lagi Ibas terkekeh.

"Putra mahkota? Istilah dari mana itu?" Aku tersenyum malu mengingat istilah itu aku yang membuat.

"Kamu yang manggil aku gitu?" desaknya. Aku mengangguk. Ibas mengusap sekilas rambutku.

"Kamu ngejek ya karena aku manja. Tapi itu dulu. Sejak sembuh aku bertekad jadi seseorang yang baru. Dan kamu tahu siapa guruku? Kamu,Ros." lagi-lagi tatapan kami bertemu. Aku melongo. Aku?

"Kamu mengada-ada,Mas Ibas, masa putra mahkota berguru dari pelayan?" Kataku. Tak ayal kurasakan wajahku memanas. Ibas mendekatkan kursinya ke tempat tidur tempatku bersandar sekarang. Tangannya yang besar berotot menggenggam jemariku yang tergeletak pasrah di atas kakiku yang membujur. Jantungku berdesir merasakan sentuhan Ibas, bahkan dari tadi ketika dia juga menyentuh rambutku walau sekilas.

"Dua bulan waktu yang cukup untuk mengenal kamu,Ros. Gimana karakter kamu, gimana sikap hidup kamu, gimana dewasanya kamu. Aku banyak belajar tau?" jempolnya mengusap-usap punggung tanganku yang digenggamnya. Hangat menjalar di hatiku. Apakah Ibas merasakan sesuatu yang lain di hatinya seperti rasa yang selama ini bersemi subur di hatiku?

"Salam untuk Tante,ya. Aku sudah lama memaafkannya, tidak perlu merasa bersalah." ucapku tulus.

"Kamu tidak mau bertemu dengannya? Dia kesepian. Aku sering tak di rumah. Maklum, sejak Papa meninggal aku yang pegang tanggung jawab perusahaan."

"Om Pras Papa Mas Ibas meninggal? Kapan?" keterkejutan tak mampu ku sembunyikan dari nada suaraku. Kini tubuhku tegak, bahkan sakit kepalaku sembuh mendadak.

"Papa yang kamu lihat di mobil jenazah waktu itu,Ros, bukan aku." ungkap Ibas sedih. Tangannya masih menggenggam jemariku.

"Om Pras sakit apa? Sepertinya beliau sehat?" Kupandangi wajahnya yang kini tak lagi tersenyum.

"Jantung. Dia terlalu bahagia melihatku sudah bisa melihat lagi. Tapi itu membuat jantungnya bekerja keras, dan Papa menyerah setelah sebulan aku melihatnya bolak-balik rumah sakit karena keluhan jantungnya itu." ujar Ibas sembari menghela nafas berat, menghalau sesak yang terdengar di suaranya yang sedikit bergetar. Aku menggenggam balik jemarinya.

"Ros, kok hidupku nyusahin orang lain terus,ya?" bisiknya nyaris tak terdengar. Aku yakin Ibas sekuat tenaga menahan tangis akibat sedih yang kembali mendera.

"Mas Ibas ngomong apa sih? Sebaliknya kehadiran Mas itu sumber kebahagiaan keluarga. Soal penyakit Om Pras Papa Mas Ibas Allah sudah mentakdirkannya begitu." Ibas mengangkat wajahnya, menatap lurus mataku yang kini juga kembali memandangnya.
"Kau ingat,Ros, dulu kamu sering sekali menasehati, memberi semangat aku kaya gini. Gimana kuliahmu? Kalau tak salah kamu semester tujuh ya tahun ini?" Seulas senyum kembali terukir di bibirnya.
"Iya, semester tujuh. Lagi nyari judul dan persiapan penelitian."
"Oya? Ntar lagi tamat dong, udah dicari PW nya?" Aku mengernyit bingung. Ibas tertawa.
"Pewe, pendamping wisuda," jelasnya. Aku hanya tersenyum malu. Dalam hati aku berharap lelaki di sampingku ini yang menjadi jawabannya.
"Bisa aja. Mas gimana? Apa kabarnya teman Mas yang cantik itu?" Kali ini Ibas yang bingung.
"Temanku yang cantik? Faradilla maksudmu?" Senyum jenaka terlukis lagi di bibir kissable miliknya.
"Udah tahu sok nanya," cibirku. Senyum misterius dipilih Ibas sebagai jawaban. Duh, apa kamu gak tahu aku cemburu,Bas? Bahkan kamu langsung teringat Dilla saat ditanya temanmu yang paling cantik.
"Makan bubur dulu,ya? Baru minum obat." Ibas menyentak lamunanku.
"Oh..,eh..,apa?" Ulangku. Ibas mengusap rambutku.
"Makan dulu, jangan melamun aja." Gemas dia mencubit pipiku. Aku menepis halus tangannya.
"Itu tangan ya, tolong kondisikan." Protesku. Ibas tertawa.
"Habis kamu gemesin, ayo buka mulutnya, aaaa..." Ku ambil mangkok dan sendok bubur di tangannya.
"Aku makan sendiri aja, tanganku sehat,kok."
"Nah, sepertinya kamu memang udah pulih. Bawelnya kambuh." Lagi-lagi dia terkekeh. Aku memutar mata dan memakan bubur dengan lahap. Aku lapar banget ternyata, atau kehadiran Ibas membuat nafsu makanku nambah?
"Jam 11 ada kapal merapat, kita balik Jakarta atau disini dulu?"
"Balik aja, aku sudah sembuh,kok,"
"Oke, aku mandi dan bersiap-siap dulu,ya? Nanti aku bantu kamu juga beberes barang-barang di kamarmu." Aku mengangguk menyetujui rencana yang dibuat Ibas. Aku mau balik ke Jakarta, tak tahan berlama dengannya, membuat dunia khayalku bekerja membuat cerita indah sendiri, kadang kebangetan. Masa berkhayal dia melamarku? Sadar dong,Ros!

After The DarkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang