Siapapun yang mengenalku dulu pasti kaget melihat tampilanku sekarang. Jelas saja. Aku yang dulu memang menyedihkan. Kecuali indeks prestasi di atas rata-rata tak ada lagi yang membuatku menonjol diantara teman-teman seangkatan. Kini semuanya berubah. Berkat fasilitas yang diberikan Papa aku menjadi berbeda. Dari upik abu menjadi Cinderella. Tapi sungguh aku tak bahagia dengan semua ini, apalagi membuatku tinggi hati. Aku takkan melupakan asalku. Juga tak akan melupakan sahabat satu kosku, Nisa.
"Hei, kamu siapa? Mau cari siapa?" reaksinya ketika pertama aku mendatanginya di kamar kos super sempit kami. Aku memeluknya, dia berontak ketakutan. Aku tertawa terbahak, matanya melotot ketika mengenali tawa khasku ketika terbahak, menyerupai si kunti.
"R...Rosa? Ini kamu? Omaigat," serunya sambil menutup mulut yang ternganga.
"Iya, siapa lagi?" aku tertawa melihat reaksinya. Berterimkasihlah pada Yuni, penata rias kecantikan khusus langganan Mama yang mengajariku cara berdandan. Lihatlah gayaku sekarang.
"Apa yang terjadi denganmu,Ros? Kok kamu berubah gini?" dia menyeretku masuk ke kamar sempit itu. Pak Agung supir merangkap bodyguard yang bekerja pada Papa untuk melayaniku menunggu di luar.
"Ayo, Ros cerita! Apa kamu menikah dengan orang kaya waktu libur kemaren?" Nisa masih saja mencecarku dengan pertanyaannya. Aku tertawa geli.
"Nisa, gimana aku mau cerita? Kamunya aja nyerocooos dari tadi. Jadi keep silent dan dengarkan ceritaku," tegasku sambil meletakkan satu telunjuk di depan mulutnya. Dia langsung diam sambil matanya mengerjap-ngerjap.
"Iya, aku kedatangan lelaki kaya,.." aku sengaja menggantung kalimatku, Nisa menunggu dengan tak sabar, matanya nampak semakin lebar.
"Lelaki itu adalah...Papa baruku," aku tertawa melihat raut kesal Nisa.
"Huh! Aku hampir jantungan, kirain kamu yang merid duluin aku," cibirnya, "tapi sekaya apa papamu? Kulihat diluar ada mobil kinclong, lalu lelaki di luar itu siapa?" haduh, Nisa mulai lagi deh. Pertanyaannya gak cukup satu.
"Aku gak tahu sekaya apa Papa, tapi dia punya banyak mobil dan rumah,"
"Waw, beruntung sekali kamu,Ros, punya Papa kaya," Nisa nampak sedih. Aku mengusap lengannya.
"Lebih enak lagi kalau kita masih punya Papa, kaya kamu. Kalau aku sudah dari kecil tak bisa melihat Papa."
"Tapi Papaku tak kaya,Ros, belanjaanku tak cukup setiap bulan," suara Nisa terdengar sedih.
"Syukuri apa yang ada pada kita saat ini, Nis. Menurutku itu kunci bahagia," aku tersenyum padanya.
"Kamu masih mau jadi temanku kan,Ros? Secara kamu sudah kaya sekarang," pinta Nisa, aku jadi tertawa.
"Tentu saja, Nisa, siapa lagi memangnya teman sejatiku?" lalu tawa ceria kami memenuhi kamar kos super sempit yang kutinggali lebih dua tahun.
Diperjalanan pulang pak Agung melewati kawasan rumah Ibas. Sudah sebulan aku di ibu kota Negara ini belum pernah aku melewati jalan itu, aku sengaja menghindarinya. Hatiku selalu sedih jika ingat tentang seraut wajah kurus yang menarik perhatianku. Bahkan lebih dari itu setiap malam aku mengorbankan air mataku karena rasa rindu padanya, putus asa karena tak tahu kabar dirinya. Apakah dia masih sehat, apakah dia masih hidup? Tanpa sadar aku kembali menangis.
"Neng, di depan macet, sepertinya ada keramaian atau apa gitu, kita agak terhambat perjalanannya," info pak Agung dari belakang kemudi. Aku hanya mengangguk saja tanpa menoleh, takut ketahuan lagi nangis.
Tunggu! Yang rame-rame itu kan rumah Ibas, ada apa disana? Tiba-tiba jantungku serasa berhenti berdetak. Pikiran-pikiran buruk menyerbuku. Apakah terjadi sesuatu dengan Ibas? Bendera putih? Ada bendera putih di pagar rumahnya. Itu kan tandanya ada kematian gitu kan? Ya Tuhan. Nafasku menjadi sesak karena dipenuhi tangis.
"Neng, ada yang meninggal di depan, sepertinya arak-arakan jenazah ke pemakaman, kita mutar aja di belokan depan ya, biar gak terlalu lama macetnya," Aku tak mendengar lagi kata-kata pak Agung. Pikiranku kalut, aku panik, aku sedih, Ibas? Apakah yang di dalam mobil jenazah itu kamu?
"Neng," suara sopirku lagi.
"Terserah Bapak saja," sahutku pendek. Rasanya aku ingin menyuruh pak sopir mengejar ambulance itu, aku ingin melihat wajahnya untuk terakhir kali. Tapi aku siapa? Aku sudah diusir oleh mamanya, aku disalahkan atas kejadian yang menimpa anaknya.Aku bahkan tak diberi kesempatan melihat kondisi Ibas terakhir kalinya. Aku sama sekali tak dianggap. Lalu apa lagi alasanku untuk menemui mereka? Apakah aku harus berterus terang bahwa aku menyayangi putra mahkota itu dengan tulus? Bahkan mungkin aku mengaku saja bahwa aku mencintainya? Hah! Aku yakin mereka akan semakin mentertawakanku. Seorang pelayan jatuh cinta pada majikan dan akan berakhir hepi ending? Mimpi saja seperti di cerita-cerita dongeng pengantar tidur.
"Neng mau langsung pulang atau mampir kemana dulu?" tanya pak Agung sopirku ketika kami sudah keluar dari kemacetan dengan mengambil jalan tikus.
"Langsung pulang aja,Pak," sahutku pelan.
"Iya, kita pulang saja, Neng sepertinya kurang sehat," kata pak Agung penuh perhatian.
Iya, Pak, Bapak benar, saya sedang sakit. Sakit perasaan. Huff, dadaku bagai dibebani batu beratus kilo. Berat, sesak, sakit. Aku harus mencari jalan keluar dari masalah ini. Aku yakin pasti ada caranya. Ayo Rosa, hidup bertahun di Jakarta bermodal ikan asin kamu sanggup, pasti kamu juga sanggup hadapi masalah ini? Oh ya? Aku kurang yakin, tapi aku berusaha. Aku Rosalinda! Yang akan selalu berjuang untuk hidupnya.
***
Rosalinda balik lagi guys. Bener Ibas ninggal? Mboh, Mak belum tahu juga. Pesanaran ya? oke., pantengin terus episod berikutnya yaaa...hepi riding, salam sayang..:)
KAMU SEDANG MEMBACA
After The Dark
RomanceRosalinda mencintai Ibas yang buta penglihatannya . Tak pernah diungkapkan, hanya dibuktikan dengan melayani Ibas sepenuh hati dan segenap tabah. Ibas mencintai Rosa dalam kegelapan penglihatan yang melingkupinya. Dia percaya Rosa adalah cintanya wa...