"Ros, menikahlah denganku," kalimat Ibas beberapa waktu yang lalu masih terngiang di telinga. Aku terpana seolah tak percaya. Rasanya seperti mimpi kalimat sakral itu bisa meluncur dari bibirnya.
"M_mas Ibas kalo ngomong jangan bercanda deh, gak baik tau," kataku mencoba bersikap biasa saja.
"Gak bercanda,Ros. Aku sudah menunggu saat ini. Aku jatuh cinta padamu sudah sangat lama." jawab Ibas sembari meraih jemariku. Aku tertarik kembali duduk di sampingnya, bukan di pangkuan seperti sebelumnya.
"Mas, Dilla mau dikemanakan? Bukankah kalian akan bertunangan?"
"Itu omong kosong,Ros. Aku sudah tau siapa Dilla itu. Dia belum bisa juga menghilangkan sikap manjanya. Egonya sangat tinggi. Apa yang diminta harus terpenuhi. Dalam hal ini aku yang diinginkannya,Ros. Aku sudah tau perasaannya padaku sejak kami masih kuliah. Tapi aku gak bisa merasakan rasa yang sama. Dia hanya teman bagiku,Ros, seperti halnya aku dengan Gege, Zaki, dan lain-lain."
Aku terdiam mendengar kalimat panjang Ibas. Jemariku masih dalam genggamannya. Terasa nyaman.
"Dan aku baru tahu kejadian sebenarnya disaat aku dibawa ke rumah sakit. Aku melihatnya berlaku kasar padamu dalam rekaman kamera cctv rumah."
Mataku membesar mengetahui Ibas punya rekaman cctv nya. Berarti bisa dibuktikan siapa yang benar dan siapa tersangkanya disini. tapi kenapa Ibas baru mengungkapkannya sekarang?
"Dia menarik rambutmu, mengarang kebohongan dan memutar balikkan omongan Mama sehingga kamu pergi dari rumah seolah kamu sudah tak diinginkan. Padahal nyatanya Mama sangat sedih mengetahui kamu tak ada lagi di rumah. Dia sudah menganggapmu anak,Ros."
"Masa sih,Mas?" tanyaku tak percaya. Ibas menyunggingkan senyum manis.
"Dia lebih sering menyebut namamu dibanding namaku. Setelah aku sembuh aku dipaksa menemukanmu. Mama sangat marah pada Dilla ketika melihat rekaman cctv itu."
"Kenapa baru dilihat sekarang cctvnya,Mas?" heranku. Ibas bersandar di kursi taman yang kami duduki.
"Entah kenapa aku selama ini tak mengingat keberadaan cctv, karena kami percaya saja apa yang disampaikan Dilla. Kamu gak mau merawatku lagi dan balik kampung. Masuk akal sih, siapa yang betah berlama-lama merawat orang yang sakit sepertiku dulu?"
"Mas, aku gak berpikir seperti itu ya. Aku senang kok merawat Mas Ibas. Pertamanya aja agak berat." akuku.
"Kenapa kamu senang merawatku?" mata Ibas memandangku intens. Aku jadi salah tingkah. Apakah sudah saatnya aku akui segala perasaanku?
"Karena,...karena aku butuh pekerjaan, dan merawatmu membuatku mendapatkan uang untuk biaya kuliahku." aku menunduk malu
"Itu saja? Karena kamu butuh uang?" nada suara Ibas berisi kecewa dan luka. Itu mengisyaratkan sesuatu padaku dan memberiku keberanian lebih.
"Awalnya begitu, seiring waktu aku...aku menyayangi putra mahkota yang nampak tak berdaya dan tekad hidup yang lemah. Aku ingin bersamanya, ingin menguatkannya, ingin menghibur sedihnya, ingin membangkitkan harapannya, ingin..." pelukan Ibas menghentikan kalimatku. Tenggorokanku sesak menahan rasa sedih mengingat besarnya rasa sayang yang kusimpan selama ini untuknya.
"Ros, katakan kamu juga mencintaiku, tidak hanya sayang." pinta Ibas dalam bisikan lembut di telingaku. Aku merasa nyaman tak terkira berada dalam rengkuh tangan besarnya. Aku mengangguk dalam pelukan.
"Ya, aku mencintai Mas Ibas sampai rasanya tak tertahankan."
"Oh,Rooos, aku bahagia sekali. Berarti aku tidak sendirian disini. Ku kira hanya aku yang mencintaimu," Ibas melepas pelukan. Jemarinya yang besar terasa pas membingkai wajahku. Matanya menatapku lembut.
"Menikahlah denganku,Ros. Toh kita saling cinta."
"Aku masih kuliah jika Mas lupa," rengutku. Ibas tertawa.
"Apa salahnya dengan kuliah? Banyak kok pasangan muda menikah kala kuliah."
"Aku gak mau ya cita-citaku jadi psikolog terganjal anak."
Ibas menatapku yakjub dengan senyum merekah.
"Hei,Ros, aku baru mengajakmu menikah, tapi kamu sudah bicara anak. Itu artinya kamu setuju kan menikah denganku?" Ibas tertawa bahagia. Aku terbelalak menyadari kalimatku. Rasanya maluuu sekali.
"Idih, ada yang tercyiduk." Ibas mencolek daguku. Mama....,
"Iya, Ros bersedia menikah asal Mas ngedukung cita-citaku sampai jadi psikolog ternama." rengutku disela rasa malu dan wajah yang panas membara. Lalu secepat kilat tanpa bisa ku cegah bibir lembut dan seksih yang selama ini hanya mampir di mimpi mendarat sempurna di bibirku yang jomblo ini. widih, bibir aja jomblo yak. hihi.
"Ros,hhh, ayo kita temui para tetua. Mereka harus tahu berita ini. Aku sudah tak sabar lagi." Disela napasnya yang sesak Ibas menarik tanganku memasuki rumah, menemui tiga orang dewasa disana yang terperanga memandang tautan tangan Ibas yang tak mau melepasku sedikitpun.
Segini dulu yaaaa, besok sambung lagiiii
KAMU SEDANG MEMBACA
After The Dark
RomanceRosalinda mencintai Ibas yang buta penglihatannya . Tak pernah diungkapkan, hanya dibuktikan dengan melayani Ibas sepenuh hati dan segenap tabah. Ibas mencintai Rosa dalam kegelapan penglihatan yang melingkupinya. Dia percaya Rosa adalah cintanya wa...