17. 🌅Tolong Jangan Bercanda!

1.2K 83 2
                                    


Pelatihan dengan konsep family gathering disambut baik oleh karyawan Pak Jaya. Walau untuk transportasi dan akomodasi keluarga ditanggung sendiri mereka tidak keberatan. Dibolehkan membawa keluarga di saat pelatihan di akhir pekan adalah sesuatu yang menyenangkan. Dan sekarang disela-sela istirahat antar materi yang cukup berat para karyawan tersebut memenuhi kafe, makan dan bercengkrama bersama orang-orang terkasih. Aku menatap mereka dari sebuah kursi yang tertata di samping jendela. Di depan sana tersaji pemandangan ombak laut dan perahu nelayan yang hanya nampak layarnya saja. Ku seruput es teh manis teman makan siangku. Oya, teman-temanku sekantor pada kemana ya? Ah, Iya. Bu Nia siang ini balik ke Jakarta, tiga rekan setim ku dalam pelatihan ini pasti sibuk dengan pacar-pacar mereka yang menyusul kemari. Ini hari terakhir pelatihan dan nanti malam acara bebas. Wajar saja mereka memanfaatkan waktu untuk berlibur di pulau seribu yang romantis ini.

"Sendirian aja? Boleh bergabung?" suara bas pria mengagetkanku. Oh, Pak Jaya rupanya. Aku tersenyum kikuk.

"Silahkan,Pak, kebetulan kafe ini sudah di sewa oleh perusahaan tambang asal Yogya," gurauku mencoba membuang rasa kikuk yang melanda. Pak Jaya terkekeh mendengar candaanku. Dia membawa sepiring nasi lengkap dengan lauk-pauknya. Segelas tinggi jus alpukat menemani makan siang beliau. Aku tersenyum sedih. Tingkahnya lagi-lagi mengingatkanku akan almarhum Ibas. Dia suka sekali jus alpukat.

"Pelatihannya sukses, salut deh buat tim HRD pusat," puji Pak Jaya di sela suapan-suapannya. Aku tersenyum senang.

"Terimakasih, tapi itu tak lepas dari antusiasme karyawan Bapak. Mereka sangat kooperatif, jadi memudahkan tugas kami,"

"Mereka sangat senang dengan model pelatihan seperti ini, kamu kreatif banget," pujinya lagi. Aku menundukkan wajahku yang memanas.

"Bapak terlalu memuji," mataku memandang ke area kafe. Suara gelak canda menghiasi siang berangin di kafe pinggir pantai kepulauan seribu. Tak jauh dari kafe sebuah villa berukuran besar berdiri apik menantang pantai. Hamparan pasir pantai menjadi halamannya. Villa tempat kami menginap dan mengadakan pelatihan disana.

"Iri ya lihat mereka," ucap Pak Jaya pelan. Aku mengangguk menyadari arah pandangnya sama denganku.

"Menyenangkan sekali bisa dekat dengan orang-orang tercinta sebelum berpisah beberapa bulan lamanya," sambungku.

"Kamu kok gak undang pacarmu kesini? Saya lihat teman-temanmu sudah pada berduaan,"

Aku tersenyum saja tak menanggapi ucapan Pak Jaya.

"Kamu belum punya pacar?" tanyanya lagi. Ih, kok dia jadi kepo sih? Tapi aku tak boleh emosi. Santai, kaya dipantai, lah emang ini di pinggir pantai. Hehe

"Bapak nanya-nanya aja dari tadi, Bapak sendiri bagaimana? Kenapa tak bawa pacar atau istri kesini? Bukankah dibolehkan?" Pak Jaya tertawa. Giginya yang putih berderet rapi sampai kelihatan.

"Kamu balas saya, ya? Berarti fix, kamu jomblo," kelakarnya. Aku mencibir.

"Jangan asal tebak deh, dikurangi nilainya seratus kalau salah," tawa Pak Jaya kembali mengusik kupingku. Manis sekali. Tepat ketika jarum jam menunjuk angka satu seluruh peserta beranjak ke tempat pelatihan. Istri, anak atau orang terdekat mereka menikmati waktu dengan berjalan-jalan, bermain di bibir pantai, tapi ada juga yang kembali ke kamar ketika para suami atau istri mereka kembali masuk ke ruangan.

Malam hari terasa berbeda kali ini. Sebuah band kecil sudah memasang panggung di depan villa. Setelah kutanya ternyata ini band kepunyaan pemilik villa. Dia memberikan bonus dengan menghibur peserta pelatihan sebelum esok pagi meninggalkan pulau. Lagu dangdut yang ternyata banyak disukai karyawan menggoyang pantai malam ini. Di langit sana jutaan bintang seakan menjadi lampu disko pesta pantai dadakan. Aku memperhatikan tingkah polah para karyawan di atas pasir pantai yang sudah berubah menjadi lantai dansa. Kadang aku tertawa melihat aksi konyol mereka.

After The DarkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang