08. 🌓Hadirmu Mengubah Duniaku (Ibas PoV)

1.3K 107 2
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hai reader, Ibas dan Rosalinda hadir lagi nih, beberapa hari gak apdet rasanya lama bangeet. Maaf ya, ada pesta nikah di tempat kerja. Lho? Kok bisa? hehe..bisa dong. dimana ada keinginan di situ ada jalan. Komennya ditunggu ya guys. Kalau suka ceritaku masukkan reading list dan votenya jika berkenan. kalau gak suka ya gak papa. Namanya juga usaha. ya Gak? Oke selamat membaca, seperti biasa, I hope you enjoy my story.

Kata-kata Gege yang mengatakan bahwa Rosalinda gadis yang cantik selalu mengganggu pikiranku, apalagi dari awal mendengar lembut suaranya aku sudah mengira bahwa dia gadis yang rupawan. Sayang sampai detik ini aku belum bisa melihat wajah itu. Tapi walaupun aku tidak tahu seperti apa kecantikan Rosalinda aku sudah terlanjur nyaman dengannya. Aku akan gelisah jika tak merasakan kehadirannya di sisiku.

Rosalinda rajin menemani mama dan Papa ketika aku terapi di praktek dokter spesialis mata ataupun ke psikiater. Aku tak peduli lagi akan pandangan orang kalau ke psikiater adalah orang yang terganggu jiwanya. Yah, nyatanya aku memang mengalami gangguan. Aku juga tak menyangka ada di kondisi ini. Jiwaku ternyata tidak cukup kuat menanggung beban, dituduh membunuh sahabat yang pelakunya adalah sahabat-sahabat terdekat.

Kedewasaan Rosa membuatku belajar banyak. Selama ini aku memang dibesarkan bak putra mahkota. Segala keperluanku dilayani. Tak boleh sedikitpun terlibat masalah dan mengalami masalah. Mama malah menempatkan pelayan khusus di kos-kosanku di Yogya untuk melayani semua keperluanku. Papa akan sigap membantuku jika ada masalah yang kutemui walaupun dia sedang sibuk dengan pekerjaannya. Tapi hari itu sungguh berbeda. Aku tak sanggup menelpon mama dan papa. Aku merasa sangat jahat, aku takut mengecewakan mereka. Mereka sudah merawat dan membesarkanku dengan sangat baik, tetapi malah kubalas dengan kasus pembunuhan sahabat terbaikku, Fadli.

"Mas Ibas, Rosa izin mau ke kampus, menyelesaikan administrasi perkuliahan, kata Tante rekening Rosa sudah diisi. Mas ditinggal beberapa jam gak papa kan?" suara Rosa yang merdu menghiasi pendengaranku. Sejak aku menjalani sesi terapi, atau mungkin ketika aku menerimanya menjadi teman panggilan Rosa berubah padaku seiring perubahanku memanggilnya. Biasanya aku memanggilnya Lo, maka dijawabnya dengan Gue. Sekarang aku membahasakan diri Mas Ibas, maka dia membahasakan dirinya aku atau Rosa, atau lengkap Rosalinda. Interaksi kami makin dekat. Rosa tak canggung menyuapiku makan, atau melap badan atasku ketika aku merasa tak enak badan dan malas mandi. Yah, selama ini aku membiasakan mandi sendiri di tengah kegelapan yang menyelimuti penglihatanku, menurutku itu hal yang paling pribadi bahkan pada mama sekalipun aku malu memperlihatkan anggota tubuh rahasiaku yang tertutupi pakaian dalam. Ketika mandi di kolam renang atau mandi di pantai hari naas itu aku selalu memakai baju kaos dan celana pendek, tidak pernah hanya memakai kain segitiga itu.

"Mas Ibaas, kok diam aja sih? Rosa mau ke kampus boleh ya?" kurasakan tangan Rosa mengguncang lembut bahuku. Ku pegang tangan itu, ingin mengenali dan merasakan lembut kulitnya lagi. Walau tak sehalus kulit tangan teman-teman wanitaku di kampus dulu, tapi aku menyukainya.

"Pergilah, manfaatkan waktumu sebaik-baiknya. Kamu pasti butuh hiburan setelah sekian lama merawatku."

"Makasih Mas Ibas. Oya, makan siangnya sudah Rosa tata di meja, dimakan ya. Rosa berangkat dulu." Suaranya ceria, dan suara pintu kamar ditutup menandakan gadis itu sudah keluar kamarku. Aku menghembuskan napas pelan, mencium telapak tanganku yang tadi bersentuhan dengan kulit tangannya, hum, harum lembut parfum yang ku yakin banyak dijual di kios-kios parfum menyapa penciumanku, tapi percampuran wangi parfum dan wangi alami tubuhnya menciptakan sensasi aneh di diriku, bagian tubuh rahasiaku berdenyut nyeri. Oh, sebuah rasa yang sudah setahun ini tak kunikmati. Aku perlu membuang jauh rasa ini, aku merasa tak layak merasakannya. Aku laki-laki cacat, tak akan ada wanita manapun yang mau menjadi pasangan lelaki cacat sepertiku. Bagaimana dengan Rosa? Perempuan yang bekerja pada mama untuk merawatku, apakah dia bisa mencintaiku? Ah, Rosa yang sangat memperhatikanku. Tapi aku menyadari perlakuannya padaku semata-mata karena tugas yang telah ditetapkan mama dan dia dibayar untuk itu. Andai saja Rosa tulus melayaniku bukan karena dia pelayan pribadiku.

Aku akui Rosa tak pernah mengeluh, bahkan sebaliknya dia memberiku motivasi untuk menjalani pengobatan, dia berusaha membangun kembali rasa percaya diri yang sudah terkikis dariku. Rosa juga menuntunku berolah raga ringan seperti berjalan-jalan di halaman belakang, katanya agar otot-ototku kembali tumbuh normal. Aku juga disuruh banyak makan, karena katanya tubuhku terlalu kurus. Aku menurut saja apa katanya, toh dia yang melihat betapa kurusnya tubuhku. Perut sixpack yang susah payah kubentuk di gym entah bagaimana kabarnya kini. Aku tidak mempedulikannya lagi semenjak sakit yang tak biasa ini menimpaku.

"Emang kalau Mas kurus kenapa, Ros?" pancingku suatu kali ketika dia berkeras mengajakku olah raga di halaman belakang. Tangannya yang sedang menuntunku mencubitku pelan.

"Ih, jelek lah,Mas, padahal Mas Ibas sebenarnya ganteng, sayang kekurusan."

"Kekurusan? Apaan tuh?"

"Terlalu kurus, Maasss." Aku tertawa kecil ketika menangkap nada gemas di suaranya.

"Jadi Mas Ibas ganteng ya,?" aku ingin menggodanya lagi dan lagi. Entah apa yang dilakukannya, tapi dia terdiam beberapa detik sebelum menjawab tanyaku.

"Emang gak ada yang bilang Mas ganteng? Bohong ih, bohooong, pacarnya pasti banyak nih di kampus." Rosa tertawa jenaka. Aku mencebik.

"Aku gak punya pacar," jawabku serius.

"Mas Ibas, ih pakai rahasi-rahasiaan ke Rosa. " nada suaranya jengkel. Aku menyugar rambutku yang gondrong.

"Dibilangin dak percaya."

"Mba Faradilla gimana? Pacar Mas kan, yakaan?" dia mencubit pelan hidungku. Langsung kutangkap jari-jarinya, Rosa berusaha menariknya dari genggamanku tapi aku tak melepasnya dengan mudah, jari-jari Rosa kudekatkan ke mulutku dan menggigitnya pelan. Ku dengar Rosa berteriak tertahan.

"Mas Ibas ih, mau jadi Sumanto zaman now ya," omelnya. Aku tersenyum membayangkan raut wajahnya kini, bagaimana bibirnya manyun, matanya menyipit dan memindaiku dengan tajam.

"Dilla bukan pacarku, dia my best friends, sama seperti Gege, Romi, Rara, dan Zaki." Terangku.

"Tapi dia perhatian banget sama Mas, bahkan dia kaya paling khawatir gitu." Aku tersenyum menangkap ada nada tak suka pada suaranya, sedikit.

"Oya? Berarti kamu suka aku dong, pacar aku dong, soalnya aku merasa kamu paling perhatian padaku, dan sering mengkhawatirkan kondisiku."

"Ih Mas Ibas! Itu beda! Itu kan memang tugas Rosa."

"Oh, cuma tugas ya? Tanyaku pelan. Rosa terdiam sejenak.

"Iya, terus apalagi?" suaranya ikutan pelan seperti suaraku.

"Ya udah kalau emang gitu!" tiba-tiba aku merasa jengkel sendiri. Huh! Cuma karena tugas?

��Y

After The DarkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang