03. 🌓Pelayan Pribadi

1.4K 97 3
                                    

"Tante, saya manggil apa sama anak Tante?" aku jadi kepikiran hal ini.

"Ibas sekarang 22 tahun, kamu? Kayanya lebih muda ya, kamu panggil Mas Ibas saja. Bapaknya ngotot anaknya harus di didik secara Jawa. Tante yang tak berdaya dan terusir dari keluarga ini bisa apa? " Tante malah curhat. Jadi aku memanggilnya Mas Ibas ya..ih kok aku jadi deg-deg ser gini.

"Nanti kamu tinggal di rumah ini saja. Banyak kamar kosong, memudahkan kamu melayani Ibas." Oh, My...rezekiku hari ini mengapa begitu banyak? Sebanding dengan sakit tubuhku yang di tabrak tubuh tante Diana.

"Iya Tante, makasih, lumayan hemat uang kost. Hehe.."

Tante Diana mengusap kepalaku.

"Ayo Tante tunjukkan kamar Ibas." Kaki Tante Diana melangkah pelan karena masih agak sakit. Kami menuju kamar yang ada di area belakang rumah, jendelanya menyajikan view kolam renang rumah ini. Sinar matahari masuk dengan bebas dari jendela berdaun tiga yang mengesankan kamar ini luas walau terletak di bagian agak ke belakang.

"Kami meletakkannya di kamar ini, agar memudahkan menjangkaunya dari ruang mana saja ketika dia kumat. Dulu kamar Ibas di lantai atas, sangat menyulitkan ketika menangani dia yang kadang lepas kendali, pernah jatuh juga di tangga. Kasian." jelas tante Diana sebelum membuka pintu kamar. Lapang, kamar ini minim perabot, hanya ada kasur king size dan meja makan kayu dengan dua kursi, di pojok kamar ada pintu yang ku duga pintu kamar mandi. Di atas kasur itu kulihat sang putra mahkota tante Diana, tidur bergelung di dalam selimut bak kepompong raksasa.

"Ibas, kamu tidur?"Kepompong besar itu sedikit bergerak, yeah, dia tidak tidur. Tante Diana mendekati anaknya. Tangannya sedikit menyibak selimut yang menutupi kepala Ibas. Aku masih berdiri di ambang pintu kamar.

"Mama bawa teman mama nih, kebetulan dia mau menemani mama untuk membantu Ibas." kata Tante Diana lembut sambil membelai rambut sang putra mahkota. Terdengar dengusan kasar dan selimut kembali ditarik menutupi kepalanya.

"Gak perlu, aku gak butuh teman, suruh dia pergi!" Kepompong itu berteriak nyaring dari bawa selimut. Sang mama menggelengkan kepala.

"Kamu butuh teman yang membantu kamu Ibas, jangan keras kepala."

Tante Diana meninggalkan kamar Ibas. Aku mengekorinya di belakang dengan raut cemas. Ibas tidak mau ada orang lain di sekelilingnya. Alamat batal dapat kerja ini.

"Kamu gak usah denger kata Ibas, Ros. Dia memang apatis terhadap orang lain selain saya dan Papa nya. Tapi tak mungkin kami mendampinginya terus. Tante Perlu mendampingi Papanya yang pengusaha tambang itu. Sering keluar kota tanpa didampingi istri, rentan godaan pelakor. Tante bisa stress kalau papa Dimas ninggalin Tante..,hiks"

Aku memandang tante Diana tak mengerti. Satu yang ku pahami, Tante Diana tertekan dengan kondisi ini. Jiwanya labil. Sangat ketergantungan pada suami, sementara anak satu-satunya butuh perhatian ekstra darinya. Mungkin jauh dan terusir dari keluarga membuatnya rapuh dan tidak percaya diri.

"Tante..saya akan bantu semampunya. Jangan sedih ya..Om pasti tidak akan meninggalkan Tante yang baik hati seperti ini. Kalau dia melakukannya, sebagai orang sedaerah biar saya bantu melabraknya."

Senyum terbit dari wajah cantik tante Diana.

"Tante sangat berterima kasih Ros, Tante mohon bersabarlah menghadapi Ibas. Sebenarnya dia anak yang lembut, seperti putra keraton. Begitu Papanya yang masih ningrat itu mendidiknya. Masalah uang kuliahmu biar tante yang selesaikan. "

"Makasi Tante..udah siang, Mas Ibas belum makan kan , Tan? Biasanya dia makan apa? Rosa perlu tahu makanan kesukaanya, atau apa dia alergi makanan tertentu."

"Iya, dia belum makan, tolong kamu antar ya, Ibas gak punya alergi makanan, kalau dia mau semua makanan masuk ke perutnya. Tante mau nelpon suami dulu, ngabarin ada kamu di rumah ini yang menemani Tante." Aku mengangguk, kemudian melangkah ke dapur mempersiapkan makan siang Ibas. Bismillah aja deh, toh niatku mulia, mencari nafkah, membayar uang kuliah, membantu mama tercinta.

Setelah semua makanan siap aku melangkah ke kamar Ibas. Kamarnya tak tertutup rapat, jadi aku bisa masuk setelah sebelumnya meminta izin. Sosok itu duduk di atas tempat tidurnya. Ya Tuhan. Dia tampan sekali. Rambutnya hitam tebal dan sedikit ikal, memanjang sampai ke tengkuk. Alisnya juga tebal, hidung mancung, wajahnya dipenuhi cambang tanda sudah lama tak bercukur. Dadanya kekar dan lebar, tapi dia kurus sekali. Matanya yang hitam terbuka, tapi tampak hampa dan kosong. Buta.

"Siapa kamu?! Kenapa masuk ke kamar saya?" Suaranya yang berat dan dingin membuat aku merinding.

Tapi..woles Rosaaa...aku memberi semangat pada diriku.

"Saya Rosalinda, tadi udah dikenalin mama Mas Ibas. Saya bawa makan sia.."

"KELUAR !!" Dia berteriak memekakkan telinga. Aku hampir terjengkang saking kagetnya. Dengan gemetar aku meletakkan nampan makan siang dan menghambur keluar kamar. Ya Tuhan..kesan pertama begitu menakutkan. Selanjutnya..apakah aku bisa? Aku mengepalkan tinju memberi semangat pada diri sendiri. Aku harus bisa! Aku harus bisa! Tubuhku masih bersandar di dinding luar kamar Ibas. Kudengar ada suara benda di banting dari dalam kamar, seperti suara piring. Aku sedikit mengintip di cela pintu yang sedikit terbuka. Ya Tuhan, piring makan siang yang ku bawa tadi sudah tergeletak di lantai, isinya berserakan, untung piring plastik merek kenamaan gitu. Kalau pecah bisa minta ganti. Aku memberanikan diri lagi masuk sambil membawa seroan sampah dan sapu.

"Mas Ibas, belum lapar ya..nasinya dibuang-buang gini.." nada suara ku setel santai, padahal aslinya aku ngeri-ngeri sedap, siapa tahu dia berteriak lagi.

"KELUAR LO!" teriakannya benar keluar. Pakai Lo Lo lagi, oke, aku ladenin. Duh, ganteng-ganteng kok tantrum sih. Astaga...dia kan sakit..empati Rooos,..aku mengingatkan diri.

"Iya, gue keluar, tapi mau beresin ini dulu, makanan berserak, nanti kalau datang semut gimana, trus semutnya manjat ke kasur Mas Ibas, trus kecoak data...".

"ASTAGA! KELUAR!"

Waw..dia sepertinya semakin marah, apa diam-diam aja ya..kan dia gak bisa lihat. Oke. Diam-diam aku membersihkan serakan terakhir. Ibas masih duduk kaku di pinggir kasurnya.

"KERAS KEPALA YA,LO! GUE TAU LO MASIH DI KAMAR INI!!

Aku nyengir sendiri, ketahuaan.

"Iye-iye..sudah selesai, sejam lagi gue antar ya makan siangnya.."

"GAK PERLU!"

"Perlu dong, kalau Mas Ibas sakit, kasian Tante Diana.."

"KELUar Pliisss..JANGAN.GANGGU.GUE..".. Dia lelah sepertinya.

"Oke, Gue keluar, selamat beristirahat Mas Ibas..".

Segera aku mengangkat piring kotor dan seroan sampah serta sapu yang tadi ku bawa.

--------------------

Horeee....aku apdet lagi...Ibas emang gitu, kasar tapi ngangenin ok, gak percaya? cekidot ajaaa.

After The DarkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang