16. 🌓Debaran

1K 87 2
                                    

Hari-hari di kantor semakin sibuk. Jadwal pelatihan yang padat membuat tim HRD bekerja ekstra. Aku yang bertugas mendampingi Bu Nia merancang pelatihan cabang Yogya harus berpikir maksimal mencari ide agar pelatihan itu nyaman dan akrab bagi seluruh jenjang kepegawaian.
"Bu Nia, tipikal karyawan Yogya gimana ya? tanyaku kala kami menyusun rancangan kegiatan. Bu Nia nampak berpikir serius. Tapi kapan sih Psikolog cantik beranak dua ini tak serius? Hehe..
"Mereka pekerja pengeboran minyak lepas pantai, bertukar shift sekali 3 bulan, di darat 3 bulan, balik lagi ke pengeboran. Kenapa kamu nanya gitu?" Aku menggigit ujung pensil sambil mempertimbangkan apakah ideku ini bisa di terima?
"Mm, menurut saya konsepnya lebih bagus family gathering, Bu," usulku. Bu Nia mengangguk-angguk.
"Boleh juga usulmu, tinggal komunikasikan ke Pak Jaya. Kamu buat konsepnya,ya!" aku cuma bisa mengangguk mendengar perintah atasanku. Handphone bu Nia bergetar halus di atas meja.
"Halo,"
"......."
"Oh, Pak Jaya, Bapak disini sekarang?"
Bu Nia manggut-manggut mendengar obrolan di sebrang, matanya lalu memandangku sambil tersenyum.
"Ada, nih di depan saya. Bisa dong, sekalian mau mematangkan konsep pelatihan. Rosalin punya usul menarik," Bu Nia tersenyum jenaka. Aku berusaha tak tertarik mendengar pembicaraan mereka, tapi tadi diriku yang dibicarakan.
"Baik, dilantai 20 ruang meeting mawar ya, oke. Siang." Bu Nia meletakkan alat komunikasinya.
"Yok,Lin kita ditunggu sama Pak Jaya," bu Nia mengambil bundelan kertas di meja dan beranjak keluar ruangan. Aku mengikuti dengan tergesa. Dadaku berdebar karena kembali bertemu dengan seseorang yang mirip Ibas. Kenapa harus dag dig dug gini sih?
"Kamu sekalian menjelaskan idemu tadi,Lin. Siapa tahu Pak Jaya setuju," kata bu Nia ketika kami sudah di lift.
"Tapi konsepnya belum matang,Bu Nia, baru kepikiran tadi," aku khawatir andai konsep yang kutawarkan tak memuaskan.
"Sampaikan garis besarnya aja,"
Aku mengangguk.
"Kamu udah latihan cara menghadapi klien kan? Jangan seperti Senen kemaren,lho, kamu gugup sekali." Aku hanya meringis malu mendengar sindiran bu Nia.
Ruang lantai 20 relatif sepi dari hiruk pikuk karyaman. Di lantai ini ada aula tempat pertemuan, di depan aula ada pojok baca dan bersantai. Beberapa kursi dan meja mengisi tempat tersebut. Di salah satu kursi nampak Pak Jaya duduk sambil memainkan handphonenya.
"Siang Pak Jaya," sapa Bu Nia ramah. Aku? Lagi-lagi aku seakan gagu, tak sanggup berkata-kata.
"Oh, siang Mba Nia," lalu matanya memandangku. "Siang Rosalin," yang ku jawab dengan suara yang pelan efek grogi.
"S..siang,"
Kami bertiga duduk santai di salah satu pojok ruangan yang diisi satu set meja dan kursi. Suasana santai walau tengah membicarakan hal serius.
"Ini konten pelatihannya,Pak, tapi konsep pelaksanaan silahkan tanya Rosalin," aku mencoba tersenyum mencoba meyakinkan klien. Lalu handphone atasanku berbunyi tanda panggilan masuk. Bu Nia memeriksa panggilan.
"Maaf,Pak dari rumah, saya izin angkat telpon dulu, ya." Bu Nia lalu berjalan sedikit menjauh. Kulirik Pak Jaya yang kurasakan agak pendiam dibanding pertemuan pertama.
"Jadi gimana konsep darimu,Rosalin?" Mataku mengerjap mendengar mulut tipis sekseh itu melafaz namaku. Sebelum aku menjawab Bu Nia menginterupsi.
"Pak Jaya saya mau izin pulang, anak saya si Abang jatuh dari sepeda, kata si Mba lukanya cukup serius," bu Nia nampak cemas sekali. "Silahkan,Bu Nia, moga gak parah dan anak Bu Nia cepat sembuh kembali,"
"Makasi Pak Jaya, Lin kamu lanjut aja,ya," aku mengangguk cepat, tidak mau menambah beban bu Nia dengan mengatakan aku tak bisa presentasi konsep, ngomong hai atau halo saja sulit.
"Jadi Rosalin,seperti apa konsep yang kamu tawarkan?" suara Pak Jaya memutus keheningan setelah bu Nia pergi. Aku membuka-buka buku agenda agar terkesan tidak kikuk.Padahal yang terjadi sebaliknya. Menyadari posisi kami yang hanya berdua dan duduk berhadapan, hanya dipisahkan meja bulat kecil membuat kegugupanku semakin menjadi. Ayo,Ros! Kamu itu gadis kuat, kuat bertahan di Jakarta berbekal ikan asin yang digigit kecil-kecil agar awet. Masa berhadapan dengan seseorang yang mirip mantan gebetan keok? Huh! Ini tak boleh dibiarkan!"
"Hm, begini Pak Jaya,..." dengan rasa percaya diri yang dipompa aku menjelaskan konsep acara yang ada dalam pikiranku. Syukurlah aku bisa lancar menjelaskan ditengah mata Pak Jaya yang tak berkedip memandangku. Kadang nafasnya berhembus berat sampai bau mint dari mulutnya menerpa wajahku samar. Kadang tatapannya melembut seperti sarat akan kerinduan. Kadang kepalanya agak dimiringkan sambil pandangannya lurus ke mataku. Aku pura-pura tak peduli dengan aksinya itu. Padahal sebenarnya setengah mati aku menahan getaran di dada dan suaraku. Ku sugesti diri sendiri agar tidak blushing.
"Jadi gimana,Pak dengan konsep yang saya tawarkan?" tanyaku di akhir presentasi singkat yang kulakukan.
"Saya setuju, tapi kamu harus ikut ke pulau seribu," suaranya memohon.
"Tentu,Pak, itu pekerjaan saya," Pria gagah didepanku tersenyum legah.
"Oke, sampai jumpa di sana, I'll wait you," aku menyambut uluran tangan Pak Jaya. Seperti sebelumnya Pak Jaya menjabat tanganku lama. Kulirik pria di depanku ini yang sepertinya sangat meresapi aktifitas jabat tangan kami. Matanya terpejam.
"Pak," panggilku ingin segera mengakhiri suasana aneh ini. Matanya terbuka. Dia salah tingkah.
"Oh, maaf," sesalnya. "Kamu mengingatkanku pada seseorang," Aku tersenyum maklum sambil menarik tanganku yang sudah lepas dari genggaman Pak Jaya.
"Saya permisi,Pak." Pak Jaya mengangguk. Aku meninggalkan tempat itu dengan sebuah pertanyaan dalam hati. Apakah aku mirip dengan pacarnya? Apakah ketika melihatku dia membayangkan pacarnya? Dan, kenapa aku tidak suka dengan kenyataan tersebut?

After The DarkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang