06.🌓Sebuah Kisah Pengantar Gelap

1.3K 107 6
                                    

Setelah mendengar ceritaku tentang kemungkinan penyebab sakitnya Ibas,Tante Diana segera menghubungi Faradilla yang diketahui sangat dekat dengan Ibas, semasa kuliah di Yogya. Dari keterangan singkat di telpon didapat informasi tambahan yang menguatkan asal-muasal tekanan perasaan di atas depresi yang dialami Ibas. Tak ingin menunggu lebih lama teman-teman Ibas yang pernah bersamanya di parang tritis diundang ke rumah, tujuannya untuk menggali informasi lebih banyak lagi.

Sepekan kemudian, tepatnya di Minggu pagi lima orang sahabat dekat Ibas datang memenuhi undangan sang pemilik rumah. Pertemuan sengaja diadakan di gazebo yang cukup luas di halaman depan rumah, berjaga agar mereka tak mengetahui keberadaan Ibas atau sebaliknya. Aku menyiapkan cemilan dan segala sesuatu untuk menyambut mereka. Tak lupa aku memasang kuping hendak mengetahui kronologis peristiwa meninggalnya Fadhli.

"Sebelumnya kami mohon maaf pada Om dan Tante karena tidak memberitahu kejadian pada hari itu. Lepas acara wisuda kami bertujuh berencana merayakannya dengan pesta pantai di parang tritis. Waktu kami sampai disana hari sudah menjelang sore. Matahari redup tertutup awan hitam, padahal sebelumnya sangat terik. Karena gerah kami memutuskan mandi di pantai. Ibas dan Fadhli yang jago renang mengadakan lomba renang hingga jauh ke tengah, sementara kami berlima yang tak pandai berenang menjadi tim yang menyemangati duel renang mereka. Tiba-tiba cuaca berubah dengan cepat, hujan angin datang tiba-tiba, kami berteriak menyuruh Ibas dan Fadhli menepi. Mereka hendak berenang ke bibir pantai ketika ombak besar menyambar Fadhli, Ibas tak jauh darinya, berdiri kaku melihat Fadhli tergulung ombak, lalu ombak datang menghantam Ibas, tidak seperti Fadhli, ombak itu menghantamkan Ibas ke garis pantai, tak jauh dari kami. Kami benar-benar shock, ketakutan, dan bingung ketika Fadhli tak juga muncul di permukaan air. Tanpa berpikir akibatnya dan tersulut emosi yang berkecamuk kami menyalahkan Ibas, menyalahkannya yang hanya berdiri mematung ketika Fadhli digulung ombak.. Waktu itu Ibas juga tak kalah kacau keadaannya. Badannya gemetar ketakutan, Fadhli hilang, dan kami menuduhnya tidak berusaha menyelamatkan teman sendiri. Ibas lalu pergi meninggalkan kami. Kami tak berusaha mencegahnya. Itulah terakhir kami bertemu dengan Ibas."

Wajah Om dan Tante Diana mengeras mendengar penuturan Zaki yang berbicara gemetar. Aku mengusap punggung Tante Diana yang sepertinya tersulut emosi mendengar penuturan Zaki yang kuyakin belum sampai di akhir cerita. Zaki yang berpenampilan necis itu menangis, tak sanggup meneruskan kata-katanya. Empat teman yang lain turut larut dalam emosi yang dibangun Zaki.

"Biar saya teruskan ceritanya Tante, Om," ujar Faradilla mencoba mengambil kekosongan waktu yang diciptakan Zaki.

"Kami menginap di pos keamanan pantai malam itu. Rencana semula kami akan menginap di hotel terdekat, tapi kami sangat khawatir karena Fadhli tak jelas kabarnya. Petugas keamanan memutuskan baru akan melakukan pencarian keesokan paginya mengingat cuaca tidak bersahabat. Pagi-pagi sekali kami sudah kembali ke pantai, menyaksikan aksi pencarian Fadhli, dan ketakutan kami nyata adanya ketika tubuh Fadhli ditemukan mengapung di pinggir pantai, setengah kilo dari lokasi kejadian. Petugas menegur kami karena berenang di cuaca yang sangat buruk. Jarang yang selamat ketika berada agak jauh dari bibir pantai, pergolakan air bawah laut menggila di cuaca seperti itu. Petugas terkejut ketika kami ceritakan seorang lagi teman kami yang berada tak jauh dari Fadhli dihantam ombak ke bibir pantai. Mereka menyebutnya keajaiban karena biasanya ombak akan membelit tubuh dan menariknya ke bawah permukaan laut. Kami baru menyadari posisi Ibas yang tak kalah berbahayanya dengan Fadhli, dia selamat karena keajaiban. Lalu kami menyesali apa yang sudah kami tuduhkan kepadanya. Ketika ponselnya dihubungi, nomor itu tak aktif, dan tak pernah aktif sampai saya mewakili teman-teman menghubungi tante beberapa hari setelah kami mengurus pemakaman Fadhli di Kalimantan." Faradilla yang cantik menyeka air matanya.

"Tante ingatkan waktu Dilla nelpon Tante, menanyakan keberadaan Ibas dan kenapa nomornya tidak aktif? Tante bilang Ibas kuliah keluar negeri, nomornya ganti. Dilla minta nomor baru Ibas, Tante tak mau ngasih. Kami berasumsi Ibas masih marah kepada kami. Kami ingin minta maaf pada Ibas, tapi tak tau menghubunginya dimana. Semua akun medsosnya tak aktif. Berbulan-bulan tak ada pembaruan status. Kami tulus ingin minta maaf dan menjelaskan bahwa dia tidak bersalah sama sekali."

Tante Diana meraung dalam dekapan suaminya. Tak tahu harus bersikap seperti apa.

"Tante, Om, kami mohon beritahu kami nomor Ibas, atau dimana dia kuliah, kami akan menyusulnya kesana. Sudah lebih setahun dia menghilang, kami rindu padanya, dia teman terbaik kami," Dilla memegang tangan tante Diana. Wanita paruh baya itu berusaha menghentikan tangisannya.

"Kalian mau tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Ibas setahun ini?" Kelima teman Ibas mengangguk sambil menahan tangis mereka. Akupun berusaha keras tidak ikut menangis terbawa suasana.

"Sore itu Ibas sampai di rumah. Kondisinya sangat kacau. Tas ransel besarnya dia campakkan di ruang tengah, dia tak menjawab sapaan Tante, lalu dia naik ke kamarnya. Tante menyusulnya ke kamar hendak bertanya apa yang membuatnya pulang tiba-tiba tanpa pemberitahuan dan sikapnya berubah aneh, sangat tidak Ibas. Dia takkan pernah membiarkan barang pribadinya berserak, dia sangat rapi dan telaten mengurus barang. Sesampai di kamar Ibas, ternyata pintunya di kunci, dari dalam Tante mendengar Ibas berteriak dan bunyi barang-barang dibanting. Tante tak kalah histerisnya diluar kamar Ibas, sangat mengkhawatirkan kondisinya. Panggilan tante dan permintaan Tante untuk dibukain pintu tak direspon sama sekali. Papa Ibas segera pulang ketika diberi tahu kondisi Ibas." Tante Diana menyeka air matanya yang masih setia mengalir. Matanya memandang sendu kelima teman dekat anaknya.

"Sejak hari itu, dia bukan lagi seperti Ibas, putera keraton kami. Dia mudah tersinggung, banyak mengurung diri di kamar, menangis berjam-jam lamanya, tidak peduli soal makanan yang masuk ke perutnya, dan pada suatu hari, setelah lebih sebulan dia berada di kondisi itu, Ibas kehilangan penglihatannya, dia terjatuh dari tangga ketika ingin memberitahu kami bahwa pandangannya gelap tiba-tiba." Kelima teman Ibas nampak sangat terkejut. Tidak pernah membayangkan Ibas dalam kondisi seperti itu. Mereka tahunya Ibas di luar negeri.

"Kami membawa Ibas ke dokter mata, anehnya tak ada kerusakan pada syaraf retina mata Ibas. Dokter menyarankan kami mendatangi psikolog atau psikiater, tapi Ibas tak pernah mau. Yah, begitulah nasib Ibas. Tante sangat sedih melihat kondisinya, Tante malu memberitahunya pada kalian, lalu tante buat cerita Ibas kuliah keluar negeri."

"Jadi sekarang Ibas dimana Tante?" Faradilla sesenggukan, sepertinya dia punya hubungan yang istimewa dengan Ibas.

"Dia ada di rumah ini, Buta dan mengasingkan diri." Pilu suara Tante Diana, Om Pras yang dari tadi hanya diam menyimak nampak menghela napas.

"Izinkan kami menemuinya, kami mau minta maaf," Tante Diana memandangku seolah meminta pendapat. Aku mengangguk tanda membolehkan.

"Lakukan dengan pelan, karena dia sangat perasa sekarang, terutama rasa tidak percaya diri. Kasih dia semangat dan kata motivasi, jangan banyak menangis di depannya karena dia akan semakin sedih." Nasehatku pada teman-teman Ibas.

"Iya, terimakasih, kamu siapa? Psikolog pribadi Ibas?" Tanya Dilla padaku. Aku jadi terperanga. Ketika hendak menjawab bahwa aku baru berstatus mahasiswa psikologi Tante Diana menimpali.

"Ya, dia psikolog pribadinya." Aku bersemu entah untuk alasan apa.

After The DarkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang