"Mama dimana, Bi? tanyaku pada pelayan rumah tangga yang membukakan pintu.
"Mbuh,Neng,tadi pergi sama Bapak," jawabnya sopan.
"Pakai pakaian hitam-hitam seperti mau melayat,"sambungnya lagi. Aku mengangguk sebelum melangkah ke kamarku. Aku mau belajar, mau lulus dengan cepat agar aku bisa mengejar cita-citaku menjadi psikolog. Aku ingin menyembuhkan banyak orang yang menderita luka batin, seperti Ibas. Ibas? Hiks, aku menangis lagi. Kenapa nama itu identik dengan air mata?
****
Kehidupan perkuliahan berjalan normal. Sudah berlalu pula setahun lamanya. Kini aku mau naik semester tujuh. Aku ingin kembali mengecap dunia kerja di masa libur. Walau katanya ku punya papa multi miliuner aku harus tetap bekerja, karena bekerja adalah bagian dari cita-cita, tidak hanya money oriented.
"Pa, aku mau kerja liburan ini, di kantor ada lowongan gak?" tanyaku ketika malam ini papa ada di rumah.
"Ada, bagian HRD lagi butuh pegawai, mau ngadain pelatihan,"
kata papa santai, "tapi serius kamu mau kerja?"
"Serius,Pa, cocok tu, bagian HRD aja, tapi Ros gak mau dikenal sebagai anak Papa, Ros maunya mereka alami berteman dengan Ros," kataku gembira. Papa tersenyum kecil.
"Banyak cowok-cowok cakep lho di kantor, nanti pilih salah satu ya, biar Papa bisa ngundu mantu secepatnya," goda papa. Aku cemberut.
"Apa sih,Pa, Ros belum mau nikah,"
"Umurmu kan sudah pantas untuk menikah, Ros, kalau memang sudah ada pacar serius bawa ke rumah, kenalan sama mama papa," tak kusangka mama ikutan mendukung ide papa. Jujur aku tak pernah menjalin hubungan serius dengan laki-laki. Itu prioritas kesekian.
"Pa, anak almarhum teman Papa boleh juga tuh dikenalkan ke Rosa, cakep anaknya, baik lagi," mama mulai lagi deh. Dia memang sering ke kantor papa, terlebih dia punya 50 persen saham di perusahaan tersebut. Wajar dia mengenal para pekerjanya.
"Benar juga ya,Ma, Papa suka anak itu. Rajin, sopan, dan sangat bertanggung jawab,"papa mama tertawa bahagia, aku menutup kuping, tapi tak ayal wajahku bersemu.
"Paan sih, tapi serius ya,Pa besok Ros masukin lamaran,"
"Iya, Rosa. Papa senang kamu mau kerja di kantor papa, biar belajar tentang dunia bisnis. Kamu penerus Papa,"
"Rosa mau jadi Psikolog,Pa bukan bisnismen kaya Papa," protesku.
"Oke,Papa tak memaksa, tapi suamimu harus yang paham bisnis Papa, setuju?" pinta Papa. Aku berpikir sejenak, tak apalah, daripada aku ribet cari sendiri.
"Terserah Papa aja," kataku sambil berlalu. Ku dengar mama papa sibuk berdua mendiskusikan siapa lelaki yang akan mereka pilih menjadi suamiku. Suami? Ah, andai kamu masih hidup, Bas. Tuh kan aku melou lagi.
***
Singkat aja sobat, lagi capek banget sehbis family gathering.
Hepi riding semuaa. Makasih udah mau baca n vote ceritaku. Salam sayang 😮
KAMU SEDANG MEMBACA
After The Dark
RomanceRosalinda mencintai Ibas yang buta penglihatannya . Tak pernah diungkapkan, hanya dibuktikan dengan melayani Ibas sepenuh hati dan segenap tabah. Ibas mencintai Rosa dalam kegelapan penglihatan yang melingkupinya. Dia percaya Rosa adalah cintanya wa...