Apdet menjelang tengah hari nih Guys, gak sabar mau menamatkan cerita ini, tapi entah berapa part lagi, ditunggu aja ya, senang kalau reader suka sama ATD, jangan lupa mampir juga keceritaku yang lain, ada "Aira Azhar In Love" yang berkejaran apdetnya dengan ATD(after the Dark), ada juga Mas Suami dan Gadis Seberang Sungai yang sudah complet. Mangga atuuuh, mampir ya, dan seperti biasa, koment n bintang cantiknya ditunggu.
_____
Aku mengantar lima teman Ibas ke kamar lelaki itu. Kesedihan tak bisa mereka sembunyikan ketika melihat Ibas bersender di tumpukan bantal yang ku susun di tempat tidur. Faradilla yang pertama mendekati Ibas.
"Ibas, aku Dilla, ada zaki, gege, Romi, dan Rara juga." Ketegangan nampak menguasai tubuh Ibas. Aku menahan diri untuk tidak mendekatinya. Biarlah dia dibenturkan dengan penyebab luka agar dianya cepat dewasa, kebal terhadap persoalan hidup yang rumitnya mengalahkan rumus Matematika.
"Ibas, kami mau minta maaf atas kejadian dulu, kami salah sudah menuduhmu, padahal kamu sendiri sedang berjuang menghadapi maut.," Dilla hendak menggenggam jemari Ibas tapi cepat ditepis lelaki itu.Dilla menghela napas pelan.
"Bas, Gue Romi, jangan dimasukin hati apa yang kami ucapkan dan tuduhkan waktu itu, semua murni karena pikiran kita-kita lagi kalut, shock, kami pun menyadari betapa bahaya kondisimu, tapi waktu itu kami gak mikir ke situ Bas, Lo selamat karena keajaiban. Tuhan mau Lo tetap hidup, Bas, kalau kata-kata kami waktu itu yang membuatmu kaya gini, ketahuilah kami sudah mencabut kata-kata itu dari lama, setelah kami menemukan jenazah Fadli dan petugas mengatakan bahwa jika ada yang selamat dalam kondisimu dan Fadli itu adalah kejadian langka."
Ibas menundukkan wajahnya.
"Bas, gue Gege, gue tulus minta maaf, tak ada penyesalan dalam hidup gue sebesar penyesalan karena ucapan kami waktu itu, Gue tahu Lo takkan tega melukai bahkan membunuh teman sendiri, bunuh nyamuk yang sudah hisap darah Lo aja Lo gak tega. Jadi percayalah Bas, kami khilaf, maafkan kami. Kamu tetap dan sampai kapanpun adalah Ibas kami yang baik, sopan, dan kuat.
Hening menghiasi suasana kamar. Teman-teman Ibas mengelilinginya. Gege menepuk-nepuk pelan pundak Ibas. Tante Diana dan Om Pras menunggu di luar kamar. Aku masih setia berdiri mengamati dari pintu kamar yang terbuka.
"Kalian gak salah. Tak apa kalian berkata seperti itu, yang salah itu aku, kenapa aku tak mengejar Fadli!" Ibas menangis, nyata sekali penyesalan dari suaranya yang parau.
"Ibas, Lo jangan ngomong gitu." Ucap Zaki
"Bener kata Zaki, Lo dalam situasi tak memungkinkan menolong Fadli, Lo juga dalam kondisi bahaya. Kalau Lo nekat mengejar Fadli, Lo juga akan sama seperti dia. Tolong jangan salahkan dirimu, Bas." Rara yang dari tadi diam ikut bersuara.
"Kita harus percaya takdir, Bas. Mungkin Fadli ditakdirkan berakhir seperti itu, tapi kamu enggak, buktinya ombak itu malah menghempaskanmu ke pantai, bukan menggulungmu ke dasar laut, jadi mestinya Lo bersyukur masih diberi kesempatan hidup, Bas. Fadli juga pasti gak rela kamu berakhir sepertinya."
"Benarkah seperti itu? Fadli tak marah Gue gak menyelamatkannya?" Ibas berucap pelan.
"Lo kenal Fadli, dia paling rasional diantara kita, jadi stop menyesali apa yang udah terjadi, yang pasti kita semua sayang Fadli, dia hanya minta kiriman do'a tulus dari kita semua." Romi kembali menepuk-nepuk pundak Ibas.
"Terimakasih udah datang kesini," Ibas mencoba tersenyum. Teman-temannya mengangguk haru.
"Kami masih boleh datang kesini kan,Bas. Lo harus sembuh seperti dulu, gue mau main paralayang lagi bareng Lo." Ucap Dilla pelan.
"Emang Lo aja yang mau main paralayang sama Ibas, gue juga, terakhir gue gagal, masih terkencing-kencing gue." Kata-kata Gege membuat gelak tawa menghiasi ruangan, termasuk Ibas. Dadaku lapang sekali melihatnya, ternyata teman bisa mengubah hidupmu ya. Hati-hatilah memilih teman.
"Kalau kalian gak repot, gue senang kalian masih bersedia menemui gue yang seperti ini."
"Lo siap-siap aja deh kalau kami akan sering ngetuk kamarmu. Oya, psikolog pribadimu cantik banget ya.," bisik Gege, tapi anehnya bisa ku dengar. Ibas tersenyum simpul.
"Really?" bisiknya juga.
"Yeah, gue jadi naksir. Masih Taken gak?" Gege melirikku. Aku cepat-cepat memandang ke arah mana saja asal jangan ke arahnya.
"Jangan coba-coba!" tegas Ibas, aku sampai ternganga. Apa maksudnya coba? Padahal Gege ganteng banget kaya oppa-oppa korea gitcu. Ih genit. Teman-teman Ibas senyum-senyum melihatku. Ih, apaan sih?
"Hehe, becanda, gitu aja marah, posesif Lo..," goda Gege lagi. Ibas Cuma tersenyum kecil lalu menyandarkan badannya ke tumpukan bantal.
"Lo harus rajin berobat, Bas, yakin Lo bakal sembuh. Ikuti aja apa kata Psikolog cantikmu."
"I Will," gumamnya.
"Kalau gitu Lo istirahat lagi aja. Nanti kami atur waktu kunjungan kesini, Oke?" Dilla merapikan selimut Ibas. Ibas mengangguk dan menyamankan posisinya.
"Bye-bye Ibas." Gege, Romi, dan Zaki bergantian menepuk pundak Ibas, Dilla dan Rara mencium pipi lelaki itu. Lalu kelimanya menghampiri mama dan papa Ibas untuk pamit pulang. Om Pras dan Tante Diana ikut mengantar teman-teman Ibas ke depan. Aku masih setia berdiri di ambang pintu kamar.
"Rosalinda, kamu disini?"
"Ya, Bas, ada apa?" Aku berjalan menghampirinya. Ibas mengulum senyum entah untuk alasan apa, aku memandangnya bingung.
"Kok Lo gak bilang Lo cantik."
"Hah?" Ibas tertawa kecil mendengar teriakan kecilku.
"Lo cantik banget ya, sayang aku gak bisa lihat."
"Biasa aja, Gege becanda tu." Aku mencibir.
"Gege gak pernah becanda, dia teman gue yang paling jujur, apa adanya."
"Jadi maksud Lo apa? Marah karena gak lapor kalau gue cantik?" ucapku gusar. Ibas tertawa lepas. Aku terpesona melihatnya. Ya Allah, nih anak tante Diana cakep bener yak, ups.
"Rosa, Gue laper." Kata Ibas tiba-tiba, membuatku menoleh cepat padanya. Tak biasanya dia ngomong lapar.
"Gue ke dapur dulu ya," pamitku, Ibas hanya diam saja. Tak lama aku kembali dengan sepiring nasi berisi ayam panggang dan semangkuk sayur, tak lupa juz alpukat kesukaan Ibas. Ibas berjalan pelan ke meja makan yang rutenya telah terpetakan dalam dunia gelapnya.
"Gue mau disuapin Lo.," katanya manja. Alamaak, Si Ibas, apa seperti ini sifat aslinya? Mungkin saja, bunuh nyamuk aja dia tak tega, bandingkan diriku yang pernah berperan jadi tukang jagal ayam menggantikan mama yang agak geli lihat darah ketika kami membantai ayam kampung peliharaan menjelang lebaran.
"Ya udah, buka mulutnya!" dengan patuh Ibas menuruti apa yang ku katakana. Untuk pertama kalinya Ibas menghabiskan makan siang dalam porsi sedang yang kusiapkan untuknya.
"Masakanmu enak, Ros." Ucapnya sebelum meneguk juz. Apa? Kamu? Dia memanggilku kamu? Biasanya Lo. Hum, apa maksudnya coba.
KAMU SEDANG MEMBACA
After The Dark
RomanceRosalinda mencintai Ibas yang buta penglihatannya . Tak pernah diungkapkan, hanya dibuktikan dengan melayani Ibas sepenuh hati dan segenap tabah. Ibas mencintai Rosa dalam kegelapan penglihatan yang melingkupinya. Dia percaya Rosa adalah cintanya wa...