Pernikahanku dengan Ibas sudah lama berlalu. Singkat cerita kami sudah dikaruniai seorang putra yang sehat dan menggemaskan. Sesuai kesepakatan di awal pernikahan kelak ketika aku lulus kuliah dan ngambil gelar psikolog, aku akan buka biro psikologi sendiri, tidak mau dikaitkan dengan perusahaan Papa atau Ibas suamiku.
Alhamdulillah, berkat kasih sayang Tuhan aku bisa menikmati kebahagiaan hidup. Aku sangat mensyukurinya. Punya suami yang tampan dan setia, punya usaha sendiri, punya anak, punya orang tua yang sangat memperhatikan kami. Semuanya terasa sangat sempurna. Tapi itu sebelum pintu ruang kerjaku diketuk siang ini.
"Maaf,Bu, ada tamu, katanya teman lama Ibu ketika saya tanya sudah punya janji atau belum?" Sifa asistenku di kantor muncul di ambang pintu ruangan. Aku termenung, teman lama? Siapa? Nisa? Baru dua hari yang lalu kami menghabiskan weekend di mall bareng perut buncitnya. Iya, betul sekali, Nisa menikah setahun yang lalu dengan karyawan Papa. Masih ingat Pak atau Mas Agung sopir pribadi merangkap bodyguardku? Nah, Agung yang sekarang menjabat sebagai orang kepercayaan papa kepincut pada Nisa yang memang kerap janjian bertemu denganku. Disitulah mungkin hati mereka bertemu. Dua jomblo sering bertemu, apalagi yang terjadi?
Jadi, siapa yang ingin bertemu denganku?
"Gimana,Bu? Boleh menemui Ibu sekarang?"
Aku terkejut mendengar tanya Sifa yang entah untuk berapa kali mengingat aku yang malah terus melamun.
"Oh, persilahkan masuk aja," kataku akhirnya. Sembari menunggu tamu yang katanya teman lamaku kubereskan beberapa dokumen yang berserak di meja.
"Hai,Rosalinda, apa kabar?" sebuah suara mengagetkanku. Aku mendongak. Dalam hati aku sangat terkejut melihatnya muncul di hadapanku.
"Eh, Mba Dilla, eum, silahkan duduk," aku mencoba tersenyum menghalau rasa tak nyaman barusan. Dilla duduk dengan anggun di kursi depan mejaku. Matanya lalu mengitari ruangan kantor.
"Sukses kamu sekarang ya,Ros," komentarnya sambil tersenyum tipis.
"Alhamdulillah," tanggapku. Dilla lalu menatapku dengan pandangan yang sulit kuartikan walau aku seorang psikolog. Seperti ada kilat sedih, kagum, ada juga pancaran iri. Yap, yang terakhir seperti lebih mendominasi. Tapi kenapa?
"Kamu beruntung,Ros. Punya Papa kaya, anak yang lucu, dan yang paling membuatku iri kamu punya Ibas,"
Mataku terbelalak. Rasanya sudah bertahun aku tak menjalin kontak dengan wanita di depanku ini. Tapi dia seolah mengetahui semua hal yang terjadi dalam hidupku.
"Wah, saya tak menyangka Mba Dilla begitu perhatian terhadap kehidupanku, terima kasih," kataku tak bisa menyembunyikan nada tak senang. Dilla mendengus.
"Aku bukan memperhatikan kamu,Ros, tapi Ibas, kamu tidak lupa kan aku siapanya Ibas?" matanya menyorot tajam padaku. Aku balas menatapnya.
"Aku takkan lupa,Mba teman dekat suami saya, lalu?"
"Kami saling mencintai,Ros! Sebelum kamu datang di kehidupannya." Dilla mengepal tangannya diatas meja. Emosi menguasainya. Aku harus berusaha tenang, tidak boleh terpancing.
"Mau Mba apa sebenarnya? Masa lalu kok diungkit-ungkit? Bukannya Mba udah punya suami?"
"Saya sudah bercerai. Saya tak bisa mencintai lelaki lain,"
Mata Dilla berkaca-kaca, siap menerjunkan air mata. Air mata buaya lagi?
"Oh, saya ikut prihatin mendengarnya," aku mencoba berempati.
"Kamu boleh mengejekku,Ros, silahkan. Aku memang perempuan menyedihkan,"
"Maaf, tapi saya tidak bermaksud mengejek,"
Hening beberapa saat. Dilla menghapus air matanya dengan tisu yang sudah ada di tangannya.
"Ros, kamu bisa menolong wanita yang menyedihkan ini?" ibanya padaku.
"Kalau saya bisa, saya usahakan."
"Kembalikan Ibas padaku," matanya menyorot tajam, tak sesuai dengan nada suara yang menyedihkan. Aku jelas sangat terkejut. Tapi mencoba menyembunyikannya. Ya Allah, perempuan zaman now. Ini ya yang disebut Nisa sebagai pelakor-pelakor itu? Tapi ini terang-terangan. Meminta langsung pada istrinya. Apa lagi namanya ya? Perampok suami orang? Poksarong?
"Mba, jangan bercand hal yang beginian,"
"Aku serius, aku mencintai Ibas,"
"Itu bukan cinta,Mba, itu obsesi namanya.
"Aku tak peduli apapun namanya. Yang penting Ibas kembali padaku." Muka yang tadi sendu berubah beringas. Diam-diam aku mengetik pesan ke Satyo, satpam kantor ini. Aku sungguh tak nyaman. Bekas jambakannya di rambutku dulu tiba-tiba seolah kurasakan lagi.
"Mba Dilla, kalau Mba tidak memikirkan perasaanku sebagai istrinya, tolong pertimbangkan perasaan Ibas."
"Dia pasti masih mencintaiku, dia masih membalas pesan-pesanku dan menjawab telpon-telponku."
Oya? Berarti di belakangku Ibas masih menjalin hubungan dengan Dilla. Tak bisa disalahkan juga sih, toh aku tak pernah melarangnya berhubungan dengan siapapun, termasuk perempuan ini. Aku percaya padanya.
"Kalau gitu, kenapa Mba tak bicara langsung dengan suami saya?"
Dilla menjambak rambutnya. Seperti wanita yang dilanda depresi. Tunggu, apakah dia memang depresi?
"Karena dia tidak mau, makanya saya minta bantuan kamu!" Dilla tiba-tiba berdiri dan hendak mencekikku. Untung Satyo datang tepat waktu. Tangan Dilla dicekal kebelakang dan diseret keluar ruangan. Aku masih mematung di kursiku. Sangat terkejut dengan peristiwa barusan.
"Dasar jalang, perebut pacar orang! Aku sumpahin hidupmu menderita seperti menderitnya aku!" teriak Dilla sesaat sebelum menghilang di pintu ruang. Sifa muncul sedetik kemudian. Dia berlari kearahku.
"Ibu tidak apa-apa? Ya Allah, maafkan saya, tak menyangka sama sekali jika wanita tadi orang gila. Maaf Bu," kata Sifa panik.
"Udah, gak apa-apa. Kamu gak salah. Silahkan lanjut kerja lagi. Oya, batalkan semua janji temu klien hari ini ya, saya mau pulang,"
"Baik, Bu." Sifa bergegas keluar ruangan. Akupun membereskan tas dan bermaksud pulang. Aku perlu menenangkan diri. Apakah hal ini kuceritakan pada Ibas? Pantaskah aku bahagia ditengah derita seorang wanita bernama Dilla?
Masih ada yang baca cerita ini? Maaf jarang apdet.
KAMU SEDANG MEMBACA
After The Dark
RomanceRosalinda mencintai Ibas yang buta penglihatannya . Tak pernah diungkapkan, hanya dibuktikan dengan melayani Ibas sepenuh hati dan segenap tabah. Ibas mencintai Rosa dalam kegelapan penglihatan yang melingkupinya. Dia percaya Rosa adalah cintanya wa...