11. 🌓Bagai Hidup di Negeri Dongeng

1K 86 2
                                    

Seminggu sudah Papa dan Mama menikah. Ternyata papaku orang kaya, bahkan menurutku sangat kaya. Pesta pernikahan diadakan secara mewah di sebuah hotel, tamu-tamu undangan berpakaian ala-ala selebriti. Busana pengantin mama katanya didesain khusus oleh perancang ternama, begitu juga dengan bajuku. Seumur hidup aku tak pernah membayangkan memakai baju semenawan ini. Sebuah gaun panjang semata kaki bertabur manik2 cantik membuatku seperti putri raja. Aku yang dulu bagai upik abu, tak pernah dilirik dua kali oleh kaum lelaki, malam itu berubah, aku menjadi pusat perhatian. Setelah papa mengumumkan bahwa aku adalah puterinya, berpuluh pria tampan menyalamiku dan berusaha menarik perhatianku. Aku tak tahu harus bersikap seperti apa. Akhirnya aku hanya tersenyum menanggapi tingkah bahkan rayuan maut mereka. Tak ada satupun yang menarik minatku karena di hatiku sudah terselip sebuah nama, Ibas.

 Tak ada satupun yang menarik minatku karena di hatiku sudah terselip sebuah nama, Ibas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku termenung di dalam kamar baruku yang cantik dan mewah. Peralatan tidur dan lemari baju tertata rapi. Kamar mandiku dilengkapi shower dan fasilitas air panas . Sebuah sofa bercorak flora dan dominasi warna putih senada dengan gorden kamar menghiasi pojok ruangan. Disampingnya ada meja kecil . Di atas meja itu terhidang cemilan berupa kripik dan roti. Ada juga vas bunga berisi kuntum mawar warna warni. Aku duduk di sofa tersebut. Menikmati ritme hidup yang menghampiriku sekarang. Bagai mimpi hidupku berubah 360 derajat. Dulu aku hanya memiliki kamar kecil yang agak pengap karena kurang fentilasi. Tempat tidur kayu dengan kasur yang keras. Lemari kayu yang sudah dimakan rayap di satu sisinya ikut menyempitkan kamar. Tak jauh beda dengan kamar mama di sebelahku. Kini semua berganti dengan fasilitas mewah. Rumah yang kami tempati juga rumah mewah di kawasan elit. Hanya orang bermata sipit yang mampu membeli perumahan di kawasan ini. Hidup memang tak bisa di prediksi. Semua bisa berubah, siap atau tidak siap, dan aku masih belum siap jika mau jujur.

"Ros, kamu tidur?"

Suara mama di luar kamar menghentikan lamunanku.

"Tidak,Ma, masuklah," sahutku sambil berjalan ke arah pintu. Di pintu kamar yang kokoh mama berdiri anggun dengan dress rumahan yang cantik dan mahal. Tentu saja, papa adalah miliuner tengah baya yang sedang tergila-gila pada cinta pertamanya, mama. Semua yang menurut lelaki itu layak untuk mama akan dibelikannya. Begitu juga dengan kebutuhanku, anaknya. Bayangkan, isi lemari bajuku sudah penuh dengan pakaian baru yang harganya membuatku berdecak kagum. Satu set dalaman saja harganya mungkin sama dengan harga separuh isi lemari lamaku di rumah mendiang papa.

"Ada apa,Ma? Papa mana?" tanyaku ketika mama sudah masuk ke kamar dan menelisik isinya sebelum duduk di kasurku yang empuk. Dia tersenyum bahagia.

"Papa lagi keluar, ada klen bisnisnya nelpon," jawab mama seadanya. Aku tersenyum dalam hati sambil membenarkan kata-kata mama. Klien,Ma.

"Alhamdulillah ya,Ros kita bisa hidup seperti ini. Mama tak pernah menyangka." kata mama sambil mengusap air matanya. Aku mendekati dan memeluknya erat.

"Mungkin ini balasan Allah atas kesabaran Mama selama ini," ujarku sambil menahan aliran air mata.

"Mendiang Papamu tak marah kan, Ros kita hidup seperti ini?" tangis mama masih berlanjut. Aku jadi ikut meneteskan air mata juga.

"Tidaklah,Ma, justeru Papa pasti legah melihat Mama dan Ros bahagia," hiburku pada mama. Aku tahu walau papaku bukanlah lelaki kaya mama sangat tulus mencintainya. Bahkan mama rela melepas keyakinannya demi cintanya pada papa.

"Jangan lupakan almarhum Papamu ya,Ros. Dia selalu menanti do'a dari anaknya," nasehat mama sambil membelai tanganku di pundaknya.

"InsyaAllah,Ma, Ros selalu do'akan Papa," kataku sambil menahan isakan.

"Oya,Ros, kata Papa kita tinggal di Jakarta saja biar kamu gak kesepian disana."

"Hah?Lalu rumah ini gimana,Ma? Kan baru dibeli Papa, masa ditinggal?" rengutku. Aku sayang kamar baruku, kasihan kalau ditinggal nanti berdebu dan dihuni laba-laba serta geng rusuh lainnya.

"Papa punya karyawan yang ngurus rumah ini, Ros. Kata Papa lagi dia akan sering mampir kesini mengingat dia banyak urusan di Riau khususnya Pekanbaru," jelas mama sambil tersenyum simpul.

"Di Jakarta udah ada rumahnya,Ma?" tanyaku penasaran.

"Udah, bahkan lebih besar dari ini."

"Wow, Papa sekaya apa sih,Ma?" seruku penasaran.

"Katanya dia punya beberapa perusahaan bergerak di bidang pertambangan."

Pertambangan? Sama dengan papa Ibas, Om Pras. Apakah mereka kenal? Tapi aku tidak akan mengungkit hal ini pada papa baruku. Aku tak mau dia malu karena anaknya pernah jadi pembantu aka pelayan pribadi di rumah temannya itu (kalau memang temannya Papa).

"Ah, mama mau ajak Kau makan, Yok."

Aku mengikuti mama keluar kamar menuju meja makan besar yang sudah menghidangkan masakan mama yang paling enak. Sejak menikah lagi, mama selalu masak. Menurutnya menjaga kesetiaan dan kasih sayang suami salah satu caranya adalah dengan menunjukkannya melalui masakan. karena dalam proses memasak ada cinta yang tercurah disana. Aku setuju sekali dengan pandangan mama. Walau kesannya kolot tapi itu sebuah hal yang benar dan layak dianut lagi oleh istri-istri zaman now yang menyerahkan urusan memasak kepada jasa pelayan rumah tangga.

"Papa udah makan,Ma?" tanyaku lagi.

"Sudah, dia buru-buru jadi tak sempat membangunkan kau untuk makan bersama," jawab mama sambil ikut duduk di salah satu kursi makan. Aku sudah melahap ayam goreng berbumbu kesukaanku.

"Mama makan lagi saja, pasti tadi makannya dikit karena jaim-jaim depan Papa," godaku sambil nyengir. Mama tersenyum malu.

"Kok KAu tahu,Ros? Ya lah, Mama makan lagi, tadi belum kenyang. Payah ya,Ros makan ala orang kaya, semuanya diatur. Ngunyah makanan tak boleh bunyi, sendok dan piring tak boleh berdenting dan banyak aturan lainnya. Papa banyak ngajarin Mama, jadi bingung," curhat Mama.

"Mama disuruh kursus kepribadian, kursus tebel mener atau apa gitu, nanti gurunya datang ke rumah," cerocos mama. Aku tertawa membayangkan mama sekolah lagi. Baguslah itu, jadi mama tak lagi memanggilku dengan panggilan kau-kau yang kesannya sangat daerah. Kan nanti mau tinggal di Jakarta. Oya ingat Jakarta aku harus segera bersiap-siap berangkat mengingat perkuliahan kurang seminggu lagi.

"Ma, kalau mau pindah ke Jakarta harus diburu, Ros ntar lagi masuk kuliah,"

"Kata Papa juga gitu,Ros, besok pagi kita sudah terbang ke Jakarta," sahut mama santai. Aku kaget mendengarnya.

"Kita belum siap-siap,Ma. Duh Ros tak punya koper. Koper-koper lama kita mana,Ma?" aku panik sendiri. Teringat tak melihat koper apapun di kamar tadi.

"Tak usah bawa barang-barang disini, di Jakarta sudah disiapkan."

"Wuaah, Papa benar-benar canggih,Ma," kataku sambil berbinar.

Jakarta, besok aku datang lagi. Sambutlah aku dengan gembira karena aku tak lagi Rosalinda yang ke Kampus dengan perut lapar dan bau parfum murah. Akan ku buat kau bangga padaku Jakarta. Yuhuuu...


After The DarkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang