In life, we never lose friends; we only learn who the true ones are
-Requiem La Candenza (Chapter 3)
*****
Kedua tungkaiku bergerak maju. Sedangkan netra sibuk memandang peta Akademi ini. Kelasku begitu dekat dengan ruang seni.
Jujur saja, dengan atau tanpa peta, kurasa aku akan tetap tersesat. Demi Tuhan, di mana kelasku? Sedari tadi aku sudah mengelilingi akademi ini, namun aku tak menemukan satu kelas pun! Jika terus begini, bisa-bisa aku meninggalkan jam pertama.
Tak sengaja, mataku melirik kursi taman di sini. Kursinya agak aneh, jujur saja. Kursinya tak berkaki, seolah-olah melayang di udara.
Istirahat dulu deh.
Langsung saja aku menghempaskan tubuhku ke atas sana. Tunggu, kursi ini lembut! Padahal kelihatannya kursi ini terbuat dari besi (?).
"Hei."
"Huaa!" Spontan, aku berteriak kaget ketika mendengar suara datar seorang perempuan. Siapa itu? Seingatku sedari tadi aku sendirian.
"Kau mau ke kelas kan? Kau bisa mengikutiku."
"Siapa kau?" tanyaku bingung.
Dan saat itu lah aku melihat matanya.
Biru pastel dengan sedikit gradiasi hijau. Perempuan itu memiliki rambut kecoklatan. Dan dia cukup pendek menurutku.Apa dia ... anak kecil?
"Panggil saja Thea."
"Um ... aku Corry. Dan bisakah kamu langsung mengantarkan aku ke kelasku?"
Padahal baru saja istirahat.
Thea mengangguk. "Tentu, Corry. Sebutkan saja kelasmu, dan aku akan mengantarmu."
"Aku ada di kelas-"
"Baiklah, ayo ikut."
"H-Hei, aku ada di kelas-"
KAMU SEDANG MEMBACA
Requiem la Candenza (Discontinued)
FantasyAir mata hanyalah suatu malapetaka, karena itu jangan sampai engkau menangis. --- Corry tinggal di sebuah rumah milik bangsawan. Ibunya merupakan dokter terbaik di negerinya dan ayahnya merupakan perdana menteri di Surrexerunt Kingdom. Namun kehidup...