Chapter 8 : Confusion

49 9 0
                                    

Have you ever meet your inner demon? No? Well go look at the mirror

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Have you ever meet your inner demon? No? Well go look at the mirror. They look exactly like you.

******

Corry's POV

"Dengar baik-baik karena aku tak akan mengulanginya lagi. Jadi seperti yang- akh!" Lagi-lagi Lorry tampak tercekik oleh rantai itu dan lagi-lagi Vyra-lah yang menarik rantai itu.

"Ada apa lagi?!" Maki Lorry saat ia mulai dapat bernafas kembali. Tentu saja Lorry menjadi semakin kesal saat ia hanya menerima gelengan kepala dari Vyra.

Namun saat Vyra menunjukkan wajah memohon entah mengapa Lorry menjadi bimbang.

"Kau melihatnya lagi?" Suara Lorry terdengar tegas, penuh kecurigaan. Kali ini Vyra mengangguk dan Lorry segera melirik kearahku.

"Maaf. Kami berubah pikiran. Kau harus mengingatnya sendiri Corry." Jelas Lorry dengan singkat lalu ia segera merentangkan tangannya kearahku. Aku sontak menghindar dan dapat kulihat ia menjadi kesal.

"Berhenti bermain-main Corry! Kami serius!" bentak Lorry dengan iris merah yang tampak menyala-nyala. "Begitu juga aku! Sekarang katakan alasan mengapa kalian berubah pikiran!" sergahku.

Jawabanku tak membuat Lorry senang, justru sebaliknya. Ia menjadi lebih murka dan dengan sigap ia memunculkan sebuah tongkat pemukul dan menghantamkannya padaku. Tepat di kepala.

"Jangan membantah dan kembalilah ke duniamu! Kami yang sengsara jika kami tetap memberitahumu! Kematian menunggu kami di ambang pintu jika itu sampai terjadi!"

Badanku ambruk di atas sofa yang empuk ini dan makian Lorry terdengar begitu menusuk hatiku lalu semuanya menjadi hitam.

---

Beberapa saat kemudian rasa sakit di kepalaku mulai menghilang dan aku membuka kedua mataku dengan perlahan.

Semua tampak kabur saat pertama kali aku membuka mata, karena itulah aku mengerjap-ngerjapkan kedua mataku beberapa kali hingga semua terlihat jelas.

Dimana aku? Apa ini rumah sakit?

Pertanyaan itu muncul begitu saja di kepalaku saat aku terbangun disebuah ruangan yang didominasi warna cream dan warna cokelat pada bagian bawah.

Dengan segenap tenaga aku segera berusaha untuk duduk, namun segera kuurungkan niatku saat rasa sakit menyerbu tubuhku hingga kesetiap inti tulangku.

Alih-alih duduk aku malah mengangkat lengan kiriku sambil menahan sakit yang teramat sangat. Kuamati pergelangan tanganku yang dibalut rapi menggunakan perban.

Requiem la Candenza (Discontinued)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang