I miss the darkness when i saw the light and i miss the light when i saw the darkness
******
Edward's POV
"Membosankan!", "Oh bertahanlah Ed! Sebentar lagi kita akan sampai. Bertahanlah sebentar lagi." Dargencide -siluman milikku- berujar pelan sambil memandangku geli.
Dargencide adalah seekor siluman rubah yang kutemukan bertahun-tahun silam. Ia tak memiliki nama saat aku menemukannya jadi aku menamainya sendiri.
"Nah itu dia! Sayang aku tak boleh ikut bersamamu sampai tengah semester nanti." Dasar rubah cerewet. Senang hatiku karena kau tak dapat ikut. "Ngomong-ngomong..." Aku mengalihkan perhatianku padanya kali ini.
"Penjagaan disini ketat ya." ucapnya. Sontak aku memperhatikan sekeliling. Darky (nama panggilan yang kuberikan lucu kan) benar, sekolah ini dikelilingi benteng alias tembok beton setebal 4 meter dengan tinggi kira-kira 150 meter.
Sedangkan untuk para prajurit kerajaan sendiri di gerbang sudah ada kurang lebih 10 personil yang berjaga dan masih banyak lagi yang berjaga di atas benteng. Tunggu, prajurit kerajaan? Oh tentu saja bagaimana aku bisa lupa.
Ini sudah menjadi rahasia umum bahwa Praecantetrix Academy adalah sekolah atau akademi sihir terbesar di kerjaan ini dan pemerintah mengambil bibit penyihir unggulan dari akademi ini.
"Selamat siang tuan. Tolong perlihatkan emblem keluarga anda dan tolong sebutkan nama anda."
Cih dasar sok akrab.
Pikirku. Aku memelototinya sebentar sebelum. Dengan kesal aku merogoh saku celanaku dan melemparkan (orang kaya) emblem emas itu pada prajurit sialan itu.
Walau tampak tidak peduli sebenarnya aku cukup sedih. Hatiku menjerit-jerit saat melihat benda itu hampir menyapa tanah karena kelalaian manusia terkutuk itu. Apalagi saat melihat jemarinya yang kurus mengelus dan memegang logam mulia itu.
"Edward keluarga Hearshyl."
Beberapa saat kemudian prajurit itu memberikan tanda pada kedua prajurit lain yang berada di gerbang utama untuk mempersilahkan kami lewat. Aku segera mengucapkan mantra untuk mengambil emblem itu darinya (mengambil ndasmu yang bener merebut!).
"Capto..."
Setelah mantra itu terucap melalui bisikan kecilku, benda logam bulat itu segera menghilang dan muncul di hadapanku. Aku menatapnya untuk sejenak lalu kembali merogoh saku celanaku.
Kukeluarkan sebuah kain putih berukuran 15 x 15 cm dan membalut bulatan logam itu dengan perlahan. Setelah terbalut sempurna aku meletakkan logam itu kepangkuanku dan mulai mengelapinya.
Sementara aku masih sibuk membersihkan logam mulia itu, dapat kudengar komentar negatif para teri itu. "Dingin sekali.", "Aura membunuhnya menyeramkan." Dan sebagainya. Dasar belum lagi mereka mengetahui ras-ku. Bisa jadi trending topik aku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Requiem la Candenza (Discontinued)
FantasíaAir mata hanyalah suatu malapetaka, karena itu jangan sampai engkau menangis. --- Corry tinggal di sebuah rumah milik bangsawan. Ibunya merupakan dokter terbaik di negerinya dan ayahnya merupakan perdana menteri di Surrexerunt Kingdom. Namun kehidup...