Minta Tolong

4K 233 3
                                    

Author POV

"Tante.."

Namira menegang, tapi ia berusaha seramah mungkin, ia sudah dewasa tidak mungkin kan musuhan dengan anak-anak hanya karena masalah cinta?

"Tante.." panggil Sheril lagi.

"Ada apa nak? Kenapa nangis?"

"Tante tolong aku, kepala sekolah manggil orang tua aku Tan, aku takut papa marah kalau dia yang kesini, tolong aku Tan.." Namira mendengar Isak tangis Sheril diujung telepon sana.

Sakiti Tante lagi nak.

"Tapi ada apa Sher?"

"Tante tolong sini!" Suara Sheril naik satu oktaf, Namira kalah ia terlalu menyayangi Sheril, gadis remaja yang telah memporak-porandakan hatinya.

°

Wajah Namira tetap tenang, walau ia melihat tau wajah kemarahan diwajahnya kepala sekolah dan raut kekecewaan diwajahnya wali kelas Sheril, sementara Sheril masih duduk disebelahnya dengan gelisah, sesekali ia menghapus air matanya.

"Jadi anda walinya?" Tanya kepala sekolah.

"Ya pak saya..."

"Tante Namira calon mama saya pak." Potong Sheril cepat membuat Namira menoleh.

"Papa kamu mana Sheril?"

"Mas Dirga sedang keluar kota pak." Jawab Namira asal tangannya terkepal merasakan perasaan aneh yang kini menghinggapi dihatinya.

Kepala sekolah mengangguk, namanya pak Soleh, orangnya tinggi kurus tapi terlihat berwibawa, untungnya Namira tidak terintimidasi dengan aura kepala sekolah tersebut.

"Begini Bu, pada sidak yang tadi sekolah adakan, kami menemukan 1 bungkus rokok didalam tas Sheril beserta pematiknya."

Tangan Namira yang sedari tadi berada diatas tangan Sheril mengusap pelan, saat tangan itu mengepal. Sejujurnya wanita itu cukup kaget untungnya ia sudah memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi antara mengapa sampai ada pemanggilan orang tua.

"Apakah bapak yakin itu milik Sheril?"

"Mengapa ibu yakin jika rokok itu bukan milik Sheril?"

"Apakah bapak sudah melihat rekaman cctv?"

Pak Soleh menarik nafas panjang, "sangat disayangkan cctv dikoridor kelas Sheril sedang mati."

"Kalau begitu rokok itu bukan punya Sheril pak."

"Darimana ibu yakin jika rokok itu bukan punya Sheril, bila Sheril membawanya dari luar bagaimana?"

"Tidak mungkin pak."

"Dengan pengawasan yang tidak maksimal dirumah hal itu bisa terjadi Bu."

"Pengawasan seperti apa maksud bapak?" Suara Namira sudah naik 1 oktaf ia merasa bahwa Sheril memang dipojokkan.

"Pengawasan orang tua Bu, ibu mungkin lebih paham maksud saya."

"Saya yakin itu bukan milik Sheril pak, kenapa pihak sekolah tidak mengusut dulu kasus ini pak?"

"Sekarang begini saja Bu, silahkan tandatangani surat ini, surat pernyataan bahwa Sheril memang yang membawa rokok tersebut, setelah itu Sheril bisa kembali belajar."

"Apa-apaan pak, saya yakin itu bukan milik Sheril dan saya juga tidak ingin menandatanganinya."

"Tante..." Sheril sudah menangis, ia sendiri bingung untuk bertindak, tindakan sekarang akan semakin mencoreng namanya, juga nama Yusuf.

"Tenang nak, Tante percaya sama kamu, Tante gak akan tanda tangan."

"Kalau tidak mau tanda tangan Sheril terpaksa kami skors bu."

Namira tertawa sumbang, tidak mengerti dengan cara fikir kepala sekolah, "maaf pak saya percaya Sheril, ia tidak akan begitu, saya hafal betul bagaimana dia, saya juga yakin bahwa bapak juga tau itu, tau bagaimana anak ini, bukankah kesuksesan seorang guru tergantung kesuksesan muridnya?"

Dan wajah pak Soleh pun merah padam.

°

Namira terus merangkul Sheril yang masih saja menutup wajahnya, ia sekarang sudah menjadi sorotan, Sheril harus bisa berdiri diatas skakinya sendiri, saat ini Nina tidak disini begitu juga Yusuf, mereka ber 3 beserta Husein salah satu anak kelas 11 juga sedang ikut debat pendapat selama satu Minggu di Bali dan ini baru hari kedua mereka disana.

Saat memasuki lili, Sheril langsung menangis tersedu-sedu, selain takut pada papanya, ia juga merasa malu, amat sangat malu.

"Itu bukan punya aku Tan, aku gak tau kenapa barang itu bisa didalam tas, aku ga pernah nyentuh barang itu Tan, karena papa juga ga pernah ngerokok, dulu waktu aku pacaran sama Matt juga begitu, Yusuf juga ga merokok."

"Tante percaya sama kamu, tanpa kamu jelaskan Tante percaya."

Sheril tersenyum tulus, tapi hatinya mendadak ngilu, mengingat perlakuannya tempo hari pada wanita disebelahnya ini.

"Teman kamu.."

"Aku gak punya teman Tante." Sheril menunduk menarik ujung tas sekolahnya.

Namira membisu ia tak paham tapi juga terlalu takut melukai jika menanyakan, "temanku dulu Nina, tapi setelah aku berpacaran dengan Matthew temanku jadi banyak dan aku jadi jauh sama Nina, baru setelah aku putus aku sadar, teman-teman yang banyak dulu adalah teman Matt jadi saat aku putus sama Matt ga ada lagi yang nemenin aku yang, cuma Nina, cuma Nina yang masik mau meluk aku."

"Nak.."

"Semua itu karena status aku Tan, status aku yang anak gak jelas, yang punya papa tapi tidak menikah."

Namira melepas seatbelt yang sempat ia pasangkan, ia menarik Sheril kedalam pelukannya, memeluk anak yang ia sayangi, anak dari lelaki yang ia sayangi juga, jangan lupakan hati Namira yang semakin sakit.

°

Setelah menghabiskan satu mangkuk ramen beserta es coklat, Sheril sedikit lebih cerah, ia menghabiskan makan siang bersama dengan Namira sambil menceritakan kisah perjalanan cintanya bersama Matt dan Yusuf, sesaat mereka melupakan rasa yang beberapa hari terakhir merasa simpan rapat-rapat.

"Tante tolong jangan bilang sama papa ga, tentang aku yang ga punya temen."

"Kamu bisa cerita apa saja sama Tante sayang."

Lagi, Sheril tersenyum miris, kenapa wanita didepannya ini masih saja baik?

"Ayok pulang."

Mereka pulang kerumah, mereka tidak tahu menuju masalah yang akan menimpa mereka kedepannya, karena pihak sekolah juga menelpon, Dirgantara.

°

Hehe aku tau ini dikit pake banget plus amat sangat, tapi aku janji setelah ini akan ada part terpanjang yang pernah aku ketik.
Aku ga berharap vote atau komen kalian untuk suntikan semangat, untuk penulis baru ini, kalian mau mampir kesini saja rasanya sudah lebih dari cukup.

Salam sayang, R-

the secondTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang