Keesokan harinya, Pukul 09.00 pagi.
Seperti yang sudah di bicarakan kepada kedua pihak keluarga, akhirnya Danish sepakat menikahi Nafisah secara resmi dan tercatat negara di kantor KUA kota Bontang.
Acara akad nikah kali ini hanya di hadiri oleh pihak keluarga Danish, Nafisah, beberapa kerabat dekat Nafisah serta Irsyad. Tentu saja Irsyad datang karena dia adalah teman dekat Danish semasa sekolah menengah pertama waktu di kota Balikpapan.
Nafisah semakin deg-degan saja menunggu namanya sedang di sahkan sebagai istri oleh Danish. Saat ini ia sedang menunggu di ruang lain bersama Mamanya.
"Mama harap, setelah ini kamu bisa menjalankan bahtera rumah tangga yang sakinah mawadah warohmah."
"Aamiin, terima kasih Ma."
"Sama-sama, sayang. Meskipun cinta belum hadir, Mama yakin, Insya Allah suatu saat kalian bisa saling menaruh rasa cinta seiring berjalannya waktu dan kebersamaan kalian. Bukankah cinta hadir karena terbiasa bersama? Biasanya suami istri itu saling membantu, saling bertukar pikiran, cerita, temen curhat, bahkan sholat pun bisa berjamaah bersama."
Nafisah tersenyum tipis. Meskipun tersenyum, namun tidak dengan hatinya yang menjadi gelisah tak menentu. Apakah semua ucapan Mamanya barusan benar-benar terjadi padanya suatu saat?
"Jangan memikirkan hal apapun yang sekiranya memberatkan beban pikiranmu, nak. Bukankah ini sudah keputusan kalian bersama?"
"Hm, iya, Ma."
"Lagian Danish itu pria yang baik kok. Mama sudah kenal baik bagaimana dia, semua keluarganya, pekerjaannya, dan yang terpenting, mereka seakidah dengan kita."
Nafisah hanya mengangguk lagi. Detik demi detik terus berjalan. Sebentar lagi ia akan menyandang status sebagai seorang istri sah dari Danish. Seorang pria yang tidak pernah ia bayangan, tidak pernah ia pikirkan, bahkan ia harapkan.
"Saudara ananda Muhammad Danish bin Abdul Mahmud. Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan saudari Nafisah Zaina binti Ahmad Gani dengan maskawinnya berupa seperangkat alat sholat di bayar Tunai."
"Saya terima nikahnya dan kawinnya.." seketika tenggorokan Danish tercekat, tangannya terasa bergetar kecil. Dan sungguh ia malu bila Pak penghulu didepannya kali ini menatapnya heran.
"Saya.. saya terima.."
"Pak Danish, apakah semuanya baik-baik saja?" tanya Pak Penghulu tersebut, mencoba sabar dan memaklumi bahwa Danish mungkin sedang gugup. Padahal tanpa siapapun sadari, Danish bukan gugup, tetapi tidak sanggup.
Semua bayangan masalalunya ketika mengucapkan akad nikah dengan menyebutkan nama Alina, semua dekorasi, bahkan berada didepan Pak penghulu saat ini rasanya seperti mengulang memori masalalu yang tidak mudah di lupakan oleh Danish.
Bisik-bisik dan tatapan heran dari orang-orang yang menatap Danish pun mulai terlihat. Semua bertanya-tanya, ada apa dengan Danish? Kenapa pria itu terlihat ragu?
"Nak, minum dulu air nya supaya sedikit tenang." sela Aminah tiba-tiba.
Sodoroan segelas air mineral kemasan ukuran 400 mili pun terarah pada Danish. Danish menatap Mamanya yang kini melihatnya dengan cemas. Segala harapan kesembuhan untuk Diyah seketika muncul di benak Danish. Petunjuk semua jawaban dari Allah setelah sholat istikharah tentang Nafisah pun lagi-lagi membuatnya terdiam. Raut wajah Aminah yang sudah berusia pertengahan tahun dan di penuhi guratan lelah karena mengurus semuanya termasuk merawat Diyah pun, membuat Danish segera menghapus rasa keraguannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Dari Lauhul Mahfudz
RomanceTidak mudah bagi Danish untuk menjalin sebuah hubungan baru, ketika istri yang ia cintai meninggal dunia. Tidak mudah juga bagi Nafisah, ketika pria yang ia cintai malah mencampakkan dirinya. Namun siapa sangka, Danish dan Nafisah malah di pertemuk...