Seorang wanita duduk di sofa tamu dengan memasang raut wajah bosan. Sadar kalau ia sudah di abaikan selama 10 menit, akhirnya wanita bernama Lisa itu berdiri dan berjalan ke arah Randi yang sibuk dengan laptopnya.
"Sampai kapan aku di abaikan?"
Randi menatap Lisa dalam beberapa detik, lalu kembali melihat layar laptopnya.
"Aku sibuk. Tidak ada waktu buat bersantai."
"Tapi-"
"Seorang pemimpin perusahaan hanya akan menghadapi orang-orang penting."
"Jadi aku tidak penting?"
"Silahkan pergi dari sini. Karena keberadaanmu memang tidak penting."
Dengan lancang Lisa menarik paksa laptop milik Randi. Ia menatap Randi dengan kesal, sementara Randi tetap bersikap tenang dengan raut wajah datar. Apalagi dengan santainya ia mengangkat gagang telpon untuk menghubungi bagian keamanan perusahaan.
"Halo, security. Iya, tolong ke ruangan saya sekarang. Baik, Terima kasih."
Lisa mendelik tajam. Ia menaruh kasar laptop Randi dan bersedekap.
"Aku bukan pengacau. Untuk apa kamu menghubungi bagian security? Aku bisa pulang sendiri tanpa harus di usir."
"Kalau begitu silahkan pergi."
Lisa tak menjawab apapun, ia merasa marah karena Randi tidak pernah sedikit pun menaruh hati padanya. Bahkan setelah ia sudah memegang kenop pintu luar, Lisa kembali menatap pria itu.
"Apa jangan-jangan dia sudah memiliki wanita lain di luar sana?" sela Lisa dalam hati.
"Ah tidak mungkin. Dia tidak pernah terlihat bersama siapapun. Sekalipun dia tidak memiliki wanita pujaan, tetap saja dia susah di jangkau. Kenapa dia terus menolakku? Aku yakin dia tidak buta soal kecantikan dan fisik yang aku miliki."
Setelah itu, Lisa benar-benar pergi dari sana. Hingga akhirnya Randi menghela napas leganya begitu mendengar suara pintu di tutup. Ia melonggarkan ikatan dasinya yang terasa mencekik di lehernya sembari menatap kaca jendela yang ada di sampingnya, seketika bayangan masalalu kembali hadir di benaknya.
Masalalu yang ingin ia lupakan bersama Nafisah, beserta Lisa yang terus mengejar-ngejar dirinya. Wanita itu sudah tega menjual Nafisah padanya, tetapi ujung-ujungnya malah jatuh cinta dengan pria macam dirinya.
"Kenapa harus aku? Masih banyak pria lain diluar sana, Lisa."
****
"Pokoknya aku tidak setuju. Apakah Mas lupa, dia pernah membuat luka padaku di masa lalu?"
"Iya Nafisah, aku mengerti. Tapi, kita hidup juga butuh usaha untuk menambah penghasilan. Kalau aku menjadi asistennya, Insya Allah gajinya tidak sedikit. Setidaknya-"
"Jadi Mas tidak memikirkan perasaanku?"
"Bukan begitu. Maksud aku-"
Nafisah merasa kecewa. Belum saja percakapan mereka selesai, ia memilih pergi. Bukannya tidak bersyukur, tetapi kenapa, ketika sebuah jabatan yang baru di terima oleh Danish, suaminya itu harus berpartner secara langsung bersama seorang pria yang ia benci di muka bumi ini?
"Mama, ini dari Bunda di kelas tadi pagi... "
Nafisah menoleh ke belakang, Diyah datang menghampirinya. Ia membawa selembar kertas dan memberikan langsung padanya. Nafisah menerimanya, rupanya selembar kertas berwarna pink yang bertuliskan SPP bulanan sekolah taman kanak-kanak.
Nafisah tersenyum tipis. "Iya sayang Terima kasih. Diyah kembali ke kamar ya, sudah malam."
Setelah Diyah mengangguk. Nafisah menatap kertas tersebut. Memang, pengeluaran di keluarganya lumayan banyak. Diantaranya membayar sewaan apartemen yang ia tinggali dan kebutuhan yang lain. Seketika ia teringat Danish. Dengan cepat ia
keluar kamar dan mendatangi suaminya. Di lihatnya Danish sedang menghubungi seseorang lalu mengakhiri panggilan tersebut. Danish menoleh kebelakang."Oh, ada kamu. Ku kira tadi siapa."
Nafisah memaksakan senyuman. Ia mendekati suaminya.
"Habis telponan sama siapa, Mas?"
"Mama."
"Ada apa? Mama, baik-baik saja kan?"
"Alhamdulillah baik. Mama cuma minta di kirimin uang. Papa lagi sakit."
Nafisah manggut-manggut. Setelah itu Danish merangkul pinggangnya, tak lupa mencium kening nya.
"Ayo tidur, sudah malam."
Nafisah hanya menurut ketika mereka memasuki kamar. Bahkan selang 1 jam kemudian, ntah dorongan dari mana, Nafisah mengecek Internet Banking milik suaminya. Terlihat transaksi transfer yang barusan di lakukan Danish ke alamat rekening orang tuanya sebanyak 1 juta rupiah. Sementara saldo yang tersisa 500 ribu rupiah. Nafisah tersenyum miris. Gajian suaminya masih seminggu lagi. Dan saldo yang tersisa sangatlah dikit, sementara saldo uang nafkah pribadi yang ia miliki justru lebih besar sebanyak 1 juta.
"Dengan keuangan seperti ini, apakah aku harus merelakan Mas Danish bekerja dengan pria jahat itu?"
****
Masya Allah Alhamdulillah..
Hai akhirnya aku kembali up ya... ❤Ada alasan kenapa aku sering ilang muncul dan ilang muncul selama update dsini. Karena mood aku gak semangat ketika setiap up cerita ini dan di lapak ini, sepertinya pembacanya kurang antusias dilihat dari yang memberi komentar atau vote. Sangat Sedikit, bahkan tidak ada yg komentar sama sekali.
Jujur, sebagai author, aku sedih. Serasa aku udah usaha nulis tapi pembacanya kurang antusias. Tapi biar bagaimanapun, Insya Allah aku nggak ambil hati dan tetap lanjut.
Aku sebagai authornya gak ngerti kenapa, ntah cerita aku yg bikin kalian bosan dan gak menarik. Atau memang kalian yang tidak antusias..
Terima kasih sudah baca part ini. Ditunggu next chapter ;)
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Dari Lauhul Mahfudz
RomantikTidak mudah bagi Danish untuk menjalin sebuah hubungan baru, ketika istri yang ia cintai meninggal dunia. Tidak mudah juga bagi Nafisah, ketika pria yang ia cintai malah mencampakkan dirinya. Namun siapa sangka, Danish dan Nafisah malah di pertemuk...