Chapter 44

41.6K 1K 27
                                    

"Dok, saya yakin, Nafisah tidak mungkin mengalami penyakit ini. Selama ini istri saya Alhamdulillah sehat-sehat saja."

"Mohon maaf Pak. Hasil lab tidak bisa di manipulasi. Pasien sudah berada dalam stadium 4."

Danish terdiam. Hatinya sakit. Ia berharap semua ini hanyalah mimpi buruk. Dan begitu terbangun, maka semuanya akan baik-baik saja. Tapi sayangnya, ini semua bukanlah mimpi. Selembar kertas hasil lab yang ia pegang terlihat bergetar di tangannya. Hasil menunjukkan bahwa Nafisah mengalami kanker darah stadium 4.

"Tapi, Dok, bagaimana kondisi lengannya yang terkena tembakan?"

"Alhamdulillah operasi di lengannya berjalan dengan lancar. Tetapi saat ini Ibu Nafisah sedang mengalami kritis dan belum sadarkan diri."

"Apakah umurnya tidak akan lama lagi, Dok? Apakah sudah separah ini dan tidak bisa di obati?"

Dokter tersebut menatap Danish dengan iba. Tatapan rasa harapan dan kesedihan sangat jelas di kedua mata Danish.

"Kami akan semaksimal mungkin memberikan pengobatan yang terbaik untuk istri Bapak. Selebihnya kita juga harus banyak berdoa pada Allah ya Pak."

"Semoga Allah segera melancarkan semuanya dan penyakit istri saya bisa sembuh."

"Aamiin.. Aamiin ya Allah. Maaf Pak, saya permisi dulu."

Setelah kepergian Dokter tersebut, Danish hanya bisa diam. Bagaimana mungkin selama ini Nafisah menutupi kondisi penyakitnya? Kenapa dia tega tidak memberitahu semua ini. Darimana istrinya itu memperoleh uang untuk membeli semua obat-obatannya? Ia yakin, obat sejenis penyakit yang di alami Nafisah saat ini biayanya tidaklah sedikit.

"Ya Allah, ada apa dengannya? Atau, selama ini hamba sendiri yang tidak peka terhadap kondisi istri hamba?"

Danish menghela napasnya. Kedua matanya berkaca-kaca. Dengan perasaan terpukul ia duduk di bangku koridor lorong rumah sakit. Danish menoleh ke arah pintu IGD. Nafisah masih belum sadarkan diri. Didalam sana istri yang ia cintai itu sedang berjuang. Semua ini, mengingatkan Danish pada masalalu. Rasa takut akan kehilangan lagi-lagi menghampirinya. Dulu ia kehilangan Alina karena istrinya itu menderita kanker rahim. Namun apa dikata, semua sudah menjadi kehendak Allah.

Mahmud datang dengan langkah cepat. Papa Danish terlihat khawatir.

"Bagaimana keadaan Nafisah?"

"Kritis."

"Allahu akbar." Mahmud terduduk lemas di bangku koridor UGD. Ia juga sama seperti putranya, teringat kejadian masalalu yang sama seperti menantunya Alina.

"Papa terkejut mendengar kabar tadi siang kalau Nafisah di culik. Sekarang menantu Papa ini sedang kritis. Cobaan Allah lagi-lagi datang menghampiri kita. Tanda bahwa Allah sayang sama kita."

"Iya, Pa. Bagaimana Diyah dan Mama?"

"Insya Allah besok pagi Mama kesini. Hanya Diyah yang belum mengetahui semua ini."

"Diyah pasti sedih. Dia begitu menyayangi Nafisah sama seperti waktu dulu ia menyayangi Alina."

"Kita berdoa saja pada Allah, nak. Semoga Allah memberikan kesembuhan buat Nafisah. Kita harus bersabar dalam hal ini."

*****

Seminggu kemudian..

"Ini kartu undangannya. Bagus kan?"

Tidak sedikitpun Randi melirik ke arah meja yang kini di atasnya ada kertas berukuran 27x19,5 dan didesain mewah. Undangan yang tertera nama Lisa & Randi sangat cantik bersampul warna pita gold.

"Bagus."

"Kamu bahkan belum melihatnya Randi."

"Aku sibuk."

Lisa merasa kesal. Ia berdiri dengan raut wajahnya yang marah. Sudah kesekian kalinya, pria itu mengabaikannya. Alasannya karena sibuk didepan komputer kerja.

"Mau marah atau tidak. Tapi kamu harus ingat, kalau minggu depan kita akan menikah. Kamu harus tepati janjimu atau kalau tidak... " Lisa tersenyum licik. "Nafisah akan mejadi taruhannya beserta reputasimu."

"Dasar wanita licik! Egois!"

Lisa tertawa puas. Raut wajahnya kali ini seolah-olah telah memenangkan semuanya. Keuntungan berada pada pihaknya. Ia bersedekap dengan gaya angkuh.

"Jangan terlalu membenciku, Ran. Kamu tahu kata orang cinta dan benci hanya beda tipis?"

"Itu kata mereka. Tidak berlaku buatku."

"Tapi siapa yang akan tahu? Aku pastikan setelah menikah nanti kamu akan jatuh cinta padaku."

"Jangan terlalu percaya diri. Bagaimana mungkin aku bisa mencintai wanita jahat sepertimu? Itu mustahil!" Randi terlihat meremehkan, sementara Lisa bersiap untuk pergi dari sana.

"Untuk saat ini memang mustahil. Tapi bukankah kamu sendiri yang pernah bilang kalau Allah Maha membolak-balikan hati perasaan hambaNya?"

"Lisa! Kamu-"

"Dan aku yakin kamu tidak akan berani menentangnya. Pria baik dan soleh sepertimu tidak mungkin kan, tidak mempercayai hal itu?"

****

Latifah mengenggam pelan punggung tangan putrinya yang terasa dingin. Sudah seminggu berlalu, Nafisah di nyatakan koma. Kanker yang dialaminya sudah mencapai stadium akhir.

Sebulir air mata menetes di pipi Latifah. Bibirnya tak henti-hentinya mengucapkan sholawat kepada Baginda Nabi Muhammad SAW beserta doa nya pada Allah agar Sang Maha Kuasa memberikan keajaiban  bahkan memberikan kesembuhan pada putrinya. Hanya kepada Allah lah, Satu-satunya harapan saat ini agar Nafisah bisa bangun dari komanya.

Pintu terbuka pelan. Masuklah Danish dan Diyah dengan segenap harapan bahwa setiap mereka datang, keadaan Nafisah membaik. Latifah menoleh ke belakang, menantunya kali ini datang bersama sang cucu.

"Assalamu'alaikum, nenek."

"Wa'alaikumussalam sayang. Sudah pulang sekolah?"

Diyah mengangguk. Ia mendekati brankar Mamanya yang kini masih terbaring lemah. Tidak ada perubahan sejak seminggu yang lalu.

"Mama.. Kapan Mama bangun. Diyah kangen."

"Mama.. Diyah kangen kita masak bareng. Diyah juga kangen semua kegiatan kita. Baru beberapa minggu Diyah tidur di pelukan Mama. Apakah Diyah akan kembali kehilangan pelukan seorang Ibu untuk kedua kalinya?"

Setelah itu, hanya suara tangisan pelan Diyah yang terdengar. Bertepatan saat Danish dan Ibu mertuanya yang tidak bisa membendung air mata masing-masing.

****

Masya Allah Alhamdulillah. Sudah up ya chapter 44.

Part ini mengandung bawang.. 😞

Tetap bersama cerita ini ya. Ditunggu next chapternya. Insya Allah segera..

Sehat selalu buat kaliann..

With Love Lia

Instagram; lia_rezaa_vahlefii

Jodoh Dari Lauhul MahfudzTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang