[2] Bilah Pisau yang Menggoda

3.8K 301 7
                                    

Dalam diam semuanya lebih terasa menyakitkan dan keputusasaan lebih mudah membuat kita gila.

-------------------------------------

"Kak." Tamara yang baru saja menghabiskan eskrimnya itu, menatap lurus kakaknya. "Kakak jangan pergi." Kedua mata bundarnya menyiratkan kehilangan yang mendalam.

Laura membalas datar seperti biasa. "Aku harus kerja."

"Ya udah, aku ikut kakak kerja." Tamara berkata dengan yakin.

Laura menggeleng. "Kamu manusia. Bagaimana bantu aku bekerja?"

"Aku ...." Tamara tidak mampu melanjutkan ucapannya.

Hening segera menyapa keduanya. Tetesan air tiba-tiba terjun dari langit, menerjang jatuh tanpa peduli akan tiba di mana. Laura mengerakan tangannya, menciptakan sebuah payung untuk Tamara.

Tamara menunduk dalam. Menangis lagi. Kini, ia bukan seorang bocah yang tidak mengerti arti dari meninggal. Ia mengerti apa artinya itu, dan betapa sakitnya kehilangan. Ia terisak memandangi kakinya yang bergerak-gerak memainkan genangan. Titik air matanya jatuh, menyaingi tetesan hujan.

"Jangan pergi." Ia berkata lirih.

Laura segera bangkit ke hadapan adiknya dan memeluknya erat, tanpa satupun kata. Membiarkan mereka berdua hanyut dalam duka bersama harmoni ribuan tetes air hujan.

"Aku nggak mau sendirian. Mara kangen Kakak. Mara butuh Kakak." Tamara terisak beberapa kali.

"Kakak pergi." Laura berkata datar. Tanpa merenggangkan pelukannya, Ia menghilang. Bukan hilang dalam artian berubah rupa, melainkan pergi meninggalkan Tamara entah kemana. Payung yang semula Laura pegang jatuh begitu saja ke tanah, dan Tamara tidak memungutnya. Membiarkan dirinya basah di tengah hujan, dan berlari pulang.

Rintik hujan dan petir berseru menyanyikan harmoni hujan badai ditambah ramaikan oleh teriakan pilu gadis tujuhbelas tahun yang kehilangan.

---------

Tamara meletakan dirinya diatas sofa dengan perasaan aneh. Tadi pagi baru saja ia berbincang, bahkan merajuk pada ayahnya untuk merayakan ulang tahunnya yang ketujuhbelas. Namun, saat ini, ia sendirian, tanpa ayahnya, tanpa kue kecil dengan lilin ulang tahun yang menyala-nyala.

"Ah, Kak Ara juga nggak ngucapin 'selamat ulang tahun' ya?" Tamara terkekeh.

Dadanya sesak, namun tubuhnya sudah lelah menangis sepanjang hari. Sekarang sudah jam sembilan malam. Enam belas jam lalu ayahnya masih di sini. Tertawa dan meledeknya.

Tamara melangkah malas menuju dapur. Diliriknya koleksi pisau untuk memasak yang memang digantung di sana. Ia meraihnya satu, mengarahkan pisau itu pada nadi tangan kirinya. "Kalau aku begini, kakak udah ke sini 'kan harusnya?"


"TAM!!" Jeritan itu mengawali pintunya yang diketuk beruntun dengan cepat dan keras.

Tamara acuh. Ia tertawa. "Lagipula mom and dad udah kakak bawa semua, tinggal aku."

Pisau itu menyentuh kulit Tamara. Dingin. Senyumnya mengembang.

Brak!

Pintu rumah Tamara didobrak kasar.

"TAM LO GILA YA?!" Gadis berkuncir dua dengan atribut sekolah lengkap melempar payung biru yang diguyur hujan kesembarang tempat.

Laki-laki yang mendobrak pintu rumah teman nyonya mudanya itu mundur teratur. Membiarkan nyonya muda dan sahabatnya menyelesaikan urusan pribadi mereka.

DeathlessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang