"Angel!" panggil X saat matahari baru saja meninggi dari tengah halaman belakang rumahnya.
Tamara yang sedang duduk membaca di kursi besi segera meninggalkan bukunya. "Ada apa, X?"
"Mari kita latihan lagi." X mundur beberapa langkah, mempersilakan Tamara maju dan mengambil posisi bersiap.
Tamara memasang kuda-kuda. Menegakan tubuhnya, dan menatap X dengan awas. X memulai latihan ini dengan pukulan ke kepala Tamara. Tamara segera berjongkok dan menyandung kaki X yang lain, membuatnya jatuh ke tanah. Tamara mundur ke tempat semula. Membiarkan gurunya bangkit dan memasang kuda-kuda lagi.
Kali ini, gurunya melayangkan pukulan. Tamara menahannya dengan kedua tangan dan terhempas jatuh kebelakang karena perbedaan kekuatan. "Khh." Tamara meringis kecewa. Kemampuan fisiknya buntu ditahap ini.
"Kau lebih ahli menghindar daripada menangkis. Terima saja," nasihat X sebelum kembali melayangkan pukulan. Kali ini ke arah kanan dan Tamara berhasil menghindar. "Nah, 'kan begitu."
X merangsek maju ke arah Tamara. Sebelum sempat menghindar, X meraih leher Tamara dengan tangan kanannya. Ia mengcengkramnya dan mengangkat Tamara naik ke atas. Tubuh Tamara yang mungil mempermudah serangannya kali ini. Tamara menggeliat kasar. Ia benci dicekik. Posisi ini membuat dirinya sama sekali tidak berguna.
X mengeratkan cengkramannya. Membuat Tamara menjerit tanpa suara. Tamara secara spontan mengayunkan kakinya ke depan. Menendang zakar X, membuatnya melepas cengkramannnya. X mengaduh kesakitan, sementara Tamara jatuh terduduk diatas rumput. Ia mengambil napas sebanyak-banyaknya setelah beberapa detik penuh siksaan itu.
"Kamu berhasil Angel, yah dengan cara yang cukup sadis." X tertawa disela kesakitannya.
Angel tersenyum kecil. Ia berhasil.
---
"Penyelidikan ini sia-sia, Henz." Vandy meletakan secangkir kopi untuk Henz diatas meja. "Kita sudah mewawancara semua rival Tuan Jean, mengerahkan seluruh petugas untuk memeriksa rumah, dokumen, bahkan telepon genggam semua anggota keluarga masing-masing sepanjang subuh."
Henz meneguk kopinya perlahan. Berusaha menetralkan pikirannya. "Kau benar. Kita tidak mencapai titik terangnya."
"Memangnya Aila sendiri tidak punya musuh?" Vandy mencari kemungkinan lain.
Henz menggeleng. "Dia anak yang baik, dan lagi dia hanya fokus pada satu sahabatnya yang paling ia sayang. Dia tidak punya musuh dari manapun."
"Kau sudah tanya keluarganya?" Vandy kembali bertanya.
Henz meletakan gelas kopinya. "Dia tidak pernah terbuka dengan keluarganya, aku sudah tanya dan tidak ada yang bisa diambil."
Keduanya membiarkan hening ada diantara mereka cukup lama. Sampai pintu dibuka dengan kasar, membuat keduanya menoleh. Salah seorang petugas datang memberikan laporan. "Kami sudah mencari ke segala sudut informasi yang bisa didapat. Maaf, tapi tidak ada yang bisa dijadikan tersangka."
"Baik. Terima kasih." Hanya dua kata itu yang mampu keluar dari mulut Henz. ia mengambil seluruh catatan analisanya tentang kasus ini dan pergi meninggalkan ruangan. Vandy menghela napas sejenak sebelum mengikuti Henz pergi.
Henz beranjak ke mobil mereka. Vandy setengah berlari mengejar Henz yang tampak kesal dengan semua ini. "Bukannya kau melewatkan sesuatu, Henz?"
"Melewatkan apa?" Kening Henz berkerut.
"Dia bisa sendiri Henz. Bukankah bisa jadi dia gila?" tanya Vandy seraya membuka pintu mobil.
Mereka berdua masuk dan mengambil posisi masing-masing. "Kemungkinan itu memang ada, namun aku tepis."
"Kenapa?" Vandy sedikit terkejut dengan keputusan detektif dihadapannya.
"Karena tidak mungkin ada orang gila yang niat sekali menerobos rumah Menteri Kota dengan obat bius," papar Henz.
Vandy menghela napas. Ia melajukan mobilnya membelah jalan raya. Reynand butuh istirahat sekarang, hanya itu yang ada dipikirannya. Sementara itu Henz melepas penyamarannya, kembali menjadi Reynand dan menyenderkan kepala ke jendela. Ia memejamkan matanya, berusaha menepis segala asumsi yang tidak sampai pada titik terang.
"Kak."
"Ya? Kenapa?" sahut Vandy tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan.
"Jika Ayah mendapat kasus seperti ini. Dia bisa mengerjakannya dengan mudah ya?" Pertanyaan itu terlontar ringan dari bibir Reynand.
Kali ini, Vandy menoleh sekilas. Ia berusaha menangkap ekspresi remaja yang sedang memunggunginya. "Mungkin, dia juga akan kebingungan."
"Benarkah?" Reynand membalikan tubuhnya ke depan.
"Tentu. Dia membunuh berkali-kali tanpa motif yang pasti dan jejak yang tertinggal. Siapa yang dapat dengan mudah menemukannya? Satu-satunya cara yang tersedia sekarang adalah menangkapnya hidup-hidup." Vandy berbelok menjauhi kota. Mulai menyusuri daerah tepi hutan yang sepi.
"Aku ... tidak mengecewakannya 'kan?"
Vandy menginjak rem dengan kasar. Ia sampai di rumah dengan kejutan. Kepalanya segera menoleh pada Reynand yang tampak kecewa dengan dirinya sendiri. Yah, kasus Angel adalah kasus tersulitnya setelah beberapa tahun bekerja tanpa hambatan. "Tentu saja tidak." Vandy melebarkan senyum. "Dia pasti bangga padamu, Henz."
---
"Masih sakit?" Tamara mendekat pada X yang terlihat menahan sakit diatas sofa.
"Sedikit," jawabnya dengan senyum getir.
"Sudah tidak sesak 'kan?" tanya X seraya memperbaiki posisi.
"Sudah baikan, terima kasih pelajarannya." Tamara mengambil posisi disebelah X.
X segera merangkul Tamara akrab. "Tapi pembelajaran hari ini tidak berhenti di sini lho."
"Oh ya?" Binar muncul dari kedua mata cokelat milik Tamara.
X bangkit, Tamara mengikuti. X beranjak masuk ke dalam perpustakaan dan bergerak cepat ke sudutnya. Tamara tidak mengerti ke mana X membawanya, namun ia memutuskan diam. X menjatuhkan sebuah buku berwarna merah di rak buku kecil di pojok sana. Tamara tergerak ingin mengambil buku itu terhenti saat lantai disekitarnya terbuka, bergerak turun membentuk tangga ke bawah. Tamara terpukau. Ini keren sekali, batinnya.
X beranjak menuruni tangga. Tamara berjalan perlahan-lahan menyesuaikan pandangannya dengan cahaya dari lampu obor yang menggantung di sisi ruangan setiap beberapa meter. Cahaya terang di akhir tangga membuatnya penasaran. Langkah kakinya semakin cepat, dan X membuka pintu itu dengan perlahan.
Tamara dengan mulut sedikit terbuka memandangi ruangan rahasia yang X ditunjukan padanya. Letaknya tersembunyi dengan keren seperti dalam film, lorongnya begitu kuno membuatnya merasa takut, dan ternyata dibalik pintu sederhana ini ada puluhan senjata modern yang keren.
"Kamu boleh memilih beberapa. Pilih yang paling cocok denganmu. Anggap ini hadiah karena telah memberiku pelajaran keren." X mengakhiri dialognya dengan kekehan.
Tamara segera bergerak menyusuri rak demi rak dengan binar. Ia sedang sekali diajak ke sini. Semua senjata itu akan sangat berguna untuknya, dan fisiknya yang tidak terlalu cocok untuk bertarung dengan tangan kosong.
"Ah, beberapa pistol yang aku koleksi di sini juga kedap suara. Jadi pilihlah dengan cerdik," nasihat X.
19/06/2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Deathless
Mystery / ThrillerTentang seorang gadis manis yang menyukai kematian karena ia merindukan kakak kesayangannya. BEST RANK #1 Death 23/06/2018 #15 Rindu 24/06/2018